Jumat 22 Apr 2022 04:33 WIB

Negara Islam Indonesia: Entitas yang Sering Disalahgunakan dalam Politik Tiap Rezim

NII dipakai semua rezim kecuali era BJ Habibie

Bendera NII
Foto:

NII sering dipakai (atau disalahgunakan) oleh banyak rezim politik di Indonesia sebagai alasan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang tidak populer demi mempertahankan kekuasaan atau memperlama masa jabatan. Hampir semua rezim pernah menggunakan isu NII untuk melanggengkan kekuasaannya atau buying-time agar bisa memperlama masa kekuasaan dan menetapkan pelaksana tugas gubernur, bupati dan kepala desa seluruh Indonesia. 

Pada masa Soekarno, isu NII dipakai untuk memundurkan pelaksanaan pemilu yang seharusnya dilakukan pada tahun 1954 ke 1955. Juga pada masa Soeharto, pemilu tahun 1971 yang seharusnya dilakukan tahun 1969 mengalmi pengunduran karena isu bangkitnya eka (ekstrim kanan) yang merujuk pada NII. Bahkan Soeharto, melalui Pangkopkamtibnya yang sangat digdaya, Letjen Ali Moertopo, secara kasar menggunakan para veteran perang Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI-TII), nama lain dari Negara Islam Indonesia, untuk memenangkan Golkar. Golkar adalah ‘mesin politik’ yang enggan diakui sebagai “partai politik” oleh Orde Baru untuk memperluas jangkauan kekuasaannya di tengah warga sipil. 

Pada masa masa presiden berikutnya, kecuali masa Presiden BJ Habibie, NII sering dimunculkan sebagai pengalihan isu atau krisis multidimensi yang tengah dialami oleh pemerintah yang tak sanggup lagi menyelesaikannya. Namun menggunakan NII sebagai pengalih isu akan sangat berbahaya bagi politik Indonesia yang tumbuh secara tidak natural. NII suatu saat akan besar dan mendapat simpati rakyat karena politik permainan korban. 

Para pendukung NII sesungguh sangat kecil dan tak berpotensi untuk mengganggu sistem politik demokrasi Indonesia yang sudah sangat gigantis dan established. Jumlah mereka, sesuai dengan pengakuan Sardjono Kartosoewirjo, hanya dua juta warga saja; itu pun terbagi ke dalam 18 faksi yang masing-masing mengklaim diri paling sah untuk memegang tampuk estafet Negara Islam Indonesia. Setiap faksi memiliki ego faksional yang sangat pathetik: senang melihat faksi lain jika sedang menghadapi masalah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement