Selasa 19 Apr 2022 18:40 WIB

Mengapa Poros Partai Islam Sulit Terwujud dan Empat Tantangan pada Pemilu 2024

Partai Islam saat ini dinilai tidak memiliki tokoh karismatik menuju Pemilu 2024.

Partai Islam

Senada dengan Lili Romli, cendikiawan Muslim, Fachry Ali menilai bahwa, ketiadaan tokoh karismatik menjadi penyebab partai-partai Islam bakal kesulitan mendulang suara pada Pemilu 2024. 

"Kita harus membedakan partai yang tidak punya pemimpin karismatik dengan partai punya pemimpin karismatik," ujar Fachry dalam diskusi yang sama.

Ia menjelaskan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pernah memiliki ketua umum yang karismatik seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga pernah memiliki sosok seperti itu, yakni Hamzah Haz.

Adapun saat ini, sosok yang memiliki karisma seperti itu ada di partai-partai nasionalis, seperti Megawati Soekarnoputri di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto. Sedangkan, partai-partai Islam telah kehilangan tokoh seperti itu.

"Partai-partai yang tidak tergantung kepada pemimpin puncak atau karismatik, biasanya mengandalkan local leader atau local political lord. Local lord ini yang melalui parpol sebagai tangga menjadi pemimpin nasional," ujar Fachry. 

Managing Director Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam juga menilai, akan ada sejumlah hambatan untuk partai politik Islam untuk menghadapi Pemilu 2024. Salah satunya adalah politik identitas yang harus diantisipasi mereka.

Politik identitas, jelas Ahmad, mulai terjadi pasca-Pemilu 2014 dan semakin mencuat di pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017. Permasalahan tersebut semakin menegang dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019.

"Saya tidak melihat pemerintah saat ini di bawah Presiden Joko Widodo melakukan proses netralisasi yang sistematis terhadap dinamika politik identitas. Bahkan seolah politik identitas itu dimaintain sedemikian rupa," ujar Ahmad.

Tidak adanya netralisasi terhadap politik identitas dapat menjadi pisau bermata dua bagi partai politik. Satu sisi membuat pemilih Muslim memilih partai Islam, sisi lainnya justru meninggalkan dan memilih partai yang memiliki ideologi nasionalis.

"Tidak ada ruang dialogis yang memadai dalam proses demokrasi kita sehingga di 2024, saya berkeyakinan masih ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba untuk menggunakan narasi politik identitas sebagai alat politik yang efektif dan murah meriah untuk mereka," ujar Ahmad.

Menurut Khoirul, partai-partai Islam di Indonesia setidaknya memiliki empat tantangan yang harus diantisipasi. Pertama adalah ketidakmampuan partai politik Islam mengubah ideologinya menjadi platform politik.

Pasalnya, menjadikan agama sebagai ideologi partai politik berarti harus memanfaatkan nilai-nilai fundamental agama untuk mendapatkan popularitas dan dukungan politik.

"Kedua adalah masih adanya faksionalisme, konflik internal dan krisis kepemimpinan di partai politik Islam," ujar Khoirul.

Ia menjelaskan, empat partai politik Islam yang saat ini berada di parlemen telah mengalami konflik internal yang berimbas kepada turunnya perolehan suara. Tak jarang dari mereka justru terbelah, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Partai Gelora dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Partai Ummat. 

"Tiga, krisis identitas dan kecenderungan pragmatisme politik. Seperti money politics, post truth politics, dan swing voters," ujar Ahmad.

Terakhir adalah sumber daya yang terbatas, khususnya yang terkait dana untuk mengarungi kontestasi nasional yang membutuhkan uang yang besar. Empat hal tersebutlah yang menjadi kendala besar partai-partai Islam di Indonesia untuk menghadapi Pemilu 2024. 

Ia menilai, saat ini hanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memiliki perolehan suara terbesar ketimbang partai-partai Islam lainnya. Sedangkan PKS, dilihatnya memiliki momentum untuk terus meningkatkan suaranya.

Kesulitan akan dihadapi oleh PAN dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk menghadapi Pemilu 2024. Mengingat suara dari Muhammadiyah mulai tersebar ke partai lain dan ceruk pemilih Islam yang berpotensi berbelok. 

"Kalau kemudian tidak terjadi misalnya coattail effect tidak ada, kemudian kembali terjadi split ticket voting, maka itu berpotensi menjadi ancaman. Silakan itu bagian dari evaluasi yang harus dimatangkan untuk mendapatkan konsolidasi kekuatan yang lebih maksimal," ujarnya.

 

photo
Publik Tolak Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden - (infografis republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement