REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga menyatakan, pihaknya akan segera menyusun aturan turunan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Hal ini merupakan prioritas Kementerian PPPA guna memastikan UU tersebut bisa diimplementasikan dengan baik.
"Prioritas yang akan kami lakukan adalah segera menyusun peraturan pelaksanaan undang-undang ini, sesuai dengan mekanisme yang berlaku," kata Bintang dalam seminar daring yang digelar Departemen Kriminologi UI, Rabu (13/4/2022).
Setelah aturan turunannya rampung, lanjut Bintang, pihaknya akan fokus mensosialisasikan isi UU TPKS ini ke masyarakat. Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota untuk memastikan aspek pelayanan terpadu bagi korban kekerasan seksual dilaksanakan. "(Kami juga akan) berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait Dana Bantuan Korban," ujarnya.
Untuk diketahui, sejumlah pasal dalam UU TPKS menyatakan bahwa korban berhak menerima restitusi alias ganti kerugian. Dalam Pasal 35 dinyatakan, apabila pelaku tidak memiliki harta kekayaan yang cukup untuk membayar restitusi, maka negara membayar kekurangan restitusinya menggunakan Dana Bantuan Korban.
Selain itu, Bintang mengatakan, pihaknya juga akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM terkait pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum dan pendamping.
Sebagai informasi, Pasal 21 UU TPKS menyatakan bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani kasus TPKS harus sudah mengikuti pelatihan penanganan perkara TPKS. Pasal 26 menyatakan bahwa pendamping korban juga harus sudah mengikuti pelatihan penanganan kasus TPKS.
DPR RI mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang pada Selasa (12/4/2022). Ini adalah legislasi pertama terkait kekerasan seksual dalam sejarah Indonesia.
UU TPKS mengatur sembilan jenis kekerasan seksual. Mulai dari pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non-fisik, kontrasepsi paksa, sterilisasi paksa, hingga kawin paksa. Lalu penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Hanya saja, ihwal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang pernah masuk dalam draf sebelumnya, dikeluarkan untuk menghindari tumpang tindih dengan RKUHP. Adapun revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) saat ini masih dibahas oleh DPR.