Selasa 12 Apr 2022 14:47 WIB

Tangis Puan Maharani untuk Sahnya UU TPKS

UU TPKS mengatur korban kekerasan seksual menerima restitusi dari pelaku.

Ketua DPR Puan Maharani melambaikan tangan saat rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.Prayogi/Republika.
Foto:

Salah satu poin penting UU TPKS adalah restitusi atau ganti kerugian yang merupakan kewajiban pelaku kekerasan seksual untuk korban. Hal tersebut sudah termaktub dalam Pasal 1 Ayat 20 UU TPKS

Pekan lalu saat diwawancarai, Ketua panitia kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya mengatakan restitusi adalah kewajiban pelaku ke korban. "Restitusi itu kewajiban pelaku mengganti kepada korban, ganti rugi kepada korban, itu directly," ujar Willy di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/4/2022).

Dalam Pasal 1 Ayat 20 dijelaskan, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

Penetapan besarnya restitusi pelaku kekerasan seksual kepada korban ditetapkan oleh hakim, yang diatur dalam Pasal 16 Ayat 1. Hakim juga menetapkan besarnya restitusi untuk pelaku korporasi, yang diatur dalam Pasal 16 Ayat 2.

Kendati demikian, Willy menjelaskan bahwa Panja yang terdiri dari pemerintah dan Baleg telah menyepakati adanya dana bantuan korban atau victim trust fund (VTF). Hal tersebut diatur dalam Pasal 35 Ayat 2.

"Ketika si pelaku tidak mencukupi asetnya, uangnya untuk melakukan restitusi, maka kemudian negara hadir dengan kompensasi," ujar Willy.

Baca juga : GUSDURian Sebut Penganiayaan Ade Armando Bertentangan dengan Agama

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy salah satu tujuan hadirnya RUU TPKS adalah memberikan perlindungan untuk korban. Salah satunya lewat dana bantuan korban.

Kendati demikian, hadirnya dana bantuan korban tidak meninggalkan kewajiban pelaku kekerasan seksual dari denda dan sita harta tetap berjalan sejak penyidikan. Jika pelaku tidak mampu, barulah negara hadir lewat dana bantuan korban tersebut.

Ia mencontohkan, jika pelaku kekerasan seksual dihukum satu tahun penjara dan restitusi sebesar Rp 100 juta. Namun pelaku hanya memiliki harta sebesar Rp 50 juta, maka Rp 50 juta lainnya akan diganti lewat dana bantuan korban.

"Ketika pelaku tidak mampu membayar, maka dia tetap harus menerima hukuman pengganti supaya memberikan efek jera kepada yang lain. Tetapi korban tetap mendapatkan dana restitusi," ujar Eddy.

Dana bantuan korban akan diakomodasi lewat penambahan dua ayat dalam Pasal 23 RUU TPKS. Pertama, kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (16) dibayarkan melalui dana bantuan korban.

Baca juga : Puan Kutuk Keras Tindakan Kekerasan di Aksi 11 April

Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendanaan dan tata cara pemberian dana bantuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (17) diatur dengan peraturan pemerintah. “Dana bantuan korban itu sudah. Itu nanti akan kami sisipkan dan sehingga itu bisa menjawab kekhawatiran," ujar Eddy, dikutip pada 31 Maret 2022.

Eddy menjelaskan, konsep dana bantuan korban atau victim trust fund tengah digagas oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Menurutnya, ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara terhadap korban kekerasan seksual.

"Saya kira mampu atau tidak mampu negara harus mampu sebagai bentuk tanggung jawab. Tujuan hukum pidana itu bagaimana memberikan perlindungan kepada masyarakat," ujar Eddy.

Eddy menjelaskan, dana bantuan korban tak hanya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), tetapi juga dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), sanksi pidana finansial, dan program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Kendati demikian, dana bantuan korban tidak meninggalkan kewajiban pelaku kekerasan seksual dari denda dan sita harta tetap berjalan sejak penyidikan.

Jika pelaku tidak mampu, negara hadir lewat dana bantuan korban tersebut. Ia mencontohkan, jika pelaku kekerasan seksual dihukum satu tahun penjara dan restitusi sebesar Rp 100 juta. Namun, pelaku hanya memiliki harta sebesar Rp 50 juta, maka Rp 50 juta lainnya akan diganti lewat dana bantuan korban.

"Ketika pelaku tidak mampu membayar, maka dia tetap harus menerima hukuman pengganti supaya memberikan efek jera kepada yang lain. Tetapi korban tetap mendapatkan dana restitusi," ujar Eddy.

Adapun, penyitaan harta pelaku juga memperhatikan itikad baik pihak ketiga dalam hal memberikan restitusi bagi korban. "Bila perlu supaya tidak menimbulkan interpretasi kita jelaskan bahwa pihak ketiga ini harus memperhatikan hak anak, hak istri, atau hak suami," ujar Eddy.

photo
Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement