Senin 11 Apr 2022 15:10 WIB

Regulasi Vape Dinilai Tidak Hanya Soal Cukai  

Regulasi vape saat ini belum mempertimbangkan profil risiko.

Regulasi Vape Dinilai Tidak Hanya Soal Cukai. Foto:   Vape (ilustrasi)
Foto: Youtube
Regulasi Vape Dinilai Tidak Hanya Soal Cukai. Foto: Vape (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ahli dari berbagai latar belakang bidang kesehatan dan kebijakan sepakat bahwa regulasi vape perlu mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kebutuhan konsumen. Gagasan tersebut mengemuka dalam forum The Science & Policy of Tobacco Harm Reduction di Taiwan (25/3/2022), sebuah forum yang membahas mengenai pendekatan pengurangan dampak buruk melalui produk alternatif merokok yang lebih rendah risiko sekaligus perdebatan regulasi yang diperlukan.

“Kebijakan seharusnya bisa diatur sedemikian rupa agar sejalan dengan kebutuhan konsumen. Survei yang komprehensif dan berbasis sains perlu dilakukan untuk menghasilkan kebijakan yang lebih holistik, termasuk untuk memahami bagaimana adiksi dapat terbentuk dan cara mengurangi risikonya,” ujar ahli dari University of Taipei, Tzu-Hsuen Yuan belum lama ini.

Baca Juga

Pendapat yang senada juga diutarakan oleh perwakilan dari Australian Tobacco Harm Reduction Association, Dr Colin Mendelsohn. Menurutnya, meskipun berhenti merokok itu sulit, mengurangi risiko yang disebabkan oleh rokok adalah hal yang sangat mungkin. Ia selanjutnya memberikan gambaran regulasi vape di Australia yang mempertimbangkan dari sisi konsumen.

Regulasi tersebut mengadopsi prinsip pengurangan dampak buruk rokok dengan mengedepankan produk alternatif tembakau. Tercatat Australia mengalami penurunan jumlah perokok hingga 42 persen dalam rentang waktu 2015–2021.

Pada kesempatan yang berbeda, Ketua Umum Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), Ariyo Bimmo berharap Indonesia bisa mengadopsi prinsip pengurangan dampak buruk. Bagi Ariyo, regulasi vape saat ini belum mempertimbangkan profil risiko yang ada dan belum memberikan perlindungan konsumen melalui regulasi fiskal, kesehatan, dan standardisasi.

“Regulasi vape atau produk tembakau alternatif lainnya perlu mempertimbangkan hasil kajian dan penelitian khususnya mengenai profil risiko agar regulasi yang dibuat tepat sasaran, berjalan optimal, dan mudah diterapkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi perokok,” ujar Ariyo.

Ia kemudian menambahkan bahwa kajian tersebut perlu mendapat dukungan dari pemerintah dan melibatkan berbagai pihak terkait, seperti akademisi dan peneliti guna memformulasikan kebijakan yang berbasis limiah (evidence-based policy).

Mengurangi risiko

Dalam forum internasional yang sama, akademisi Pacific Alliance Institute (Jepang), Yuya Watase, menyampaikan bahwa prinsip terbaik dalam penyusunan regulasi pengontrolan tembakau mesti mendahulukan pengurangan kandungan berbahaya dari rokok, ketimbang fokus pada pengaturan rokok elektrik sebagai produk. Di sisi lain, Ariyo berharap pemerintah bisa melihat perkembangan regulasi di luar negeri yang sudah berhasil menurunkan angka perokok dengan vape.

“Setiap negara memiliki pendekatan yang berbeda dalam menerapkan konsep pengurangan dampak buruk tembakau. Di Inggris dan Selandia Baru memanfaatkan vape atau rokok elektrik, Swedia dengan snus, dan Jepang dengan tembakau yang dipanaskan sebagai upaya untuk menurunkan angka perokok dengan regulasi yang juga berbeda. Indonesia bisa menerapkan strategi itu dengan berfokus pada perokok dewasa aktif yang sulit berhenti merokok, agar mendapatkan alternatif untuk beralih. Prinsipnya, komitmen terhadap bukti ilmiah, keadilan sosial dan HAM, serta penghindaran stigma,” kata Ariyo.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement