Ahad 10 Apr 2022 08:19 WIB

IKAMI Tolak Tegas Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Perpanjangan masa jabatan presiden adalah tindakan melanggar konstitusi.

Rep: Ali Mansur/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Bogor Raya terlibat aksi saling dorong dengan personel kepolisian di depan Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Jumat (8/4/2022). Dalam aksinya mereka menyampaikan beberapa tuntutan seperti turunkan harga BBM dan minyak goreng, menolak perpanjangan masa jabatan presiden dan kenaikan PPN, serta mengkaji ulang rencana perpindahan Ibu Kota Negara (IKN).
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Bogor Raya terlibat aksi saling dorong dengan personel kepolisian di depan Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Jumat (8/4/2022). Dalam aksinya mereka menyampaikan beberapa tuntutan seperti turunkan harga BBM dan minyak goreng, menolak perpanjangan masa jabatan presiden dan kenaikan PPN, serta mengkaji ulang rencana perpindahan Ibu Kota Negara (IKN).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Advokat Muslim Indonesia ( IKAMI) menyoroti wacana penundaan pemilihan umum (pemilu) dan usulan untuk perpanjangan masa jabatan Presiden. IKAMI menolak dengan tegas wacana tersebut, termasuk usulan masa jabatan dari dua menjadi tiga periode.

"Jika kedua wacana tersebut dilaksanakan maka jelas jelas  merupakan tindakan inkonstitusinal. Karena kedua perbuatan tersebut bertentangan dengan UU Dasar 1945," ujar Ketua Umum IKAMI, Abdullah Al Katiri, dalam pesan singkatnya kepada Republika, Ahad (10/4/2022).

Baca Juga

Menurut Abdullah Al Katiri, Undang-Undang 1945 telah menentukan bahwa periode jabatan presiden yang ditetapkan dan diatur adalah 5 tahun. Setelah itu dapat dipilih kembali melalui mekanisme Pemilu.

Lalu, dapat dipilih kembali hanya satu periode lagi yaitu selama  lima tahun lagi dengan total keseluruhan selama 10 tahun atau 120 bulan.

Maka dengan demikian, lanjut Abdullah Al Katiri,  jika jabatan Presiden telah mencapai 120 bulan maka seorang presiden harus berganti orang lain. Kemudian jika tidak dilaksanakan maka tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

"Baik untuk menunda maupun untuk memperpanjang masa jabatan Presiden  harus didahului dengan perubahan UUD 1945 melalui mekanisme sidang MPR," tutup Abdullah Al-Katiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement