Sabtu 09 Apr 2022 00:43 WIB

Kredo 'Tak Ada Kejahatan yang Sempurna' Seperti tak Berlaku di Kasus Pembunuhan Akseyna

Pihak keluarga masih berharap kepolisian bisa menemukan tersangka pembunuh Akseyna.

Akseyna Ahad Dori.
Foto: Ist
Akseyna Ahad Dori.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika

"Tak ada kejahatan yang sempurna."

Baca Juga

Kalimat itu dikenal sebagai kredo bagi penegak hukum dalam pengusutan kasus pidana. Namun, di kasus kematian mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Akseyna Ahad Dori yang sudah tujuh tahun berlalu, kredo itu seperti tak berlaku.

Akseyna ditemukan mengambang di Danau Kenanga, UI dengan kondisi tak bernyawa pada 26 Maret 2015. Akseyna ditemukan mengambang 1 meter dari tepi danau dengan kedalaman 1,5 meter. 

Dalam tas yang digendong oleh Akseyna ditemukan sejumlah batu yang diduga digunakan pelaku untuk mencegah tubuh Akseyna mengambang. Tubuh Akseyna turut menderita luka lebam saat ditemukan. Akseyna tercatat sebagai mahasiswa jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI. 

Seruan agar kasus Akseyna diungkap terus digalang di dunia maya. Hingga Jumat (8/4/2022), sudah ada 109.400 orang yang menandatangani petisi dukungan pengusutan kasus Akseyna di Change.org. Petisi ini ditujukan agar pihak Kepolisian dan UI sigap menyelidiki kasus tersebut. 

Masih di laman petisi itu, Ayah Akseyna, Marsekal Pertama TNI Mardoto, tak bisa melupakan anaknya yang menjadi korban pembunuhan dan ditemukan meninggal di danau UI. Ia menyinggung kepolisian dan UI yang dianggap melupakan kasus ini. 

"Dari awal, saya dan keluarga merasa berjuang sendiri agar kasus anak saya segera diungkap dan selesai," kata Mardoto di laman petisi change.org dikutip Republika pada Jumat (8/4/2022). 

Mardoto menyayangkan pihak kampus dan kepolisian yang tak langsung mengontaknya ketika jenazah Akseyna ditemukan. Ia merasa menyesal karena pernah mengantar anaknya kuliah di UI hanya untuk kehilangan nyawa. 

"Dari penyelidikan, kasus Akseyna kini sudah ditegaskan sebagai kasus pembunuhan. Tapi, tujuh tahun berlalu, kasusnya masih tetap tak jelas," ujar Mardoto. 

Mardoto mengaku pernah berkomunikasi dengan UI dalam bentuk permintaan bantuan hukum, bentuk tim investigasi, dan beri sanksi dosen penggiring opini negatif tentang Akseyna. Tetapi UI menolak. 

Penolakan bantuan dari UI terus terjadi walau kepengurusan rektor berganti. Mardoto mengingatkan UI sebagai lembaga pendidikan mestinya menjadi tempat yang aman untuk menuntut ilmu. 

"Katanya, mereka (UI) mau menyerahkan ini seluruhnya kepada kepolisian," ucap Mardoto. 

Walau demikian, pihak keluarga tak kunjung mendapat kepastian dari kepolisian soal penuntasan kasus Akseyna. Lantas, ia hanya bisa pasrah menanti perkembangan kasus ini. Ia pun berpesan agar kepolisian bisa memberi informasi yang memadai secara berkala kepada pihak keluarga.

"Kepolisian sudah bilang ini utang yang harus mereka bayarkan. Ya… tapi kami harus menunggu berapa lama lagi?" ungkap Mardoto. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement