REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat pleno untuk pengambilan keputusan tingkat I terhadap rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Rapat pengambilan keputusan tersebut turut dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga dan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej.
"Apakah rancangan undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini bisa kita setujui untuk diteruskan dalam sidang paripurna untuk pembicaraan tingkat dua?" tanya Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dijawab setuju anggota Baleg dan pemerintah, Rabu (6/4/2022).
Sebanyak delapan fraksi menyatakan setuju dalam pengambilan keputusan tingkat I RUU TPKS. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tetap menolak RUU TPKS disetujui di pembahasan tingkat I. Anggota Baleg dari Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf menegaskan, penolakan PKS karena RUU TPKS tidak memuat aturan mengenai pelarangan perzinahan dan penyimpangan seksual atau LGBT.
"Kami Fraksi PKS menolak RUU TPKS untuk disahkan menjadi undang-undang dan dilanjutkan ke tahap berikutnya sesuai peraturan perundang-undangan sebelum didahului pengesahan RUU KUHP," ujar Al Muzzammil Yusuf.
Selain PKS, delapan fraksi lainnya menyatakan dukungan untuk mengesahkan RUU TPKS menjadi UU. Anggota Baleg Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DPR My Esti Wijayati mengapresiasi hadirnya payung hukum yang melindungi dan memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
RUU TPKS disebut telah mengakomodasi berbagai jenis kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual berbasis elektronik. Menurutnya, itu merupakan bentuk payung hukum yang mempertimbangkan perkembangan zaman.
"Termasuk penghapusan atau pemutusan akses informasi elektronik yang mengandung muatan tindak pidana kekerasan seksual. Sehingga diharapkan dapat memenuhi pemenuhan hukum serta perkembangan masyarakat saat ini," ujar Esti.
Anggota Baleg Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan, hadirnya RUU TPKS akan menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual. Namun, ia mengharapkan agar pemaksaan aborsi yang tak masuk dalam RUU TPKS benar-benar diatur detail dalam revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP).
"Fatwa MUI tentang aborsi, yakni aborsi pada dasarnya haram kecuali dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa ibu. Maka aborsi dibolehkan, termasuk bagi korban perkosaan," ujar Illiza.
Anggota Baleg Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Desy Ratnasari mengatakan, negara dan semua pihak harus hadir dalam mengatasi masalah kekerasan seksual. Terutama dalam aspek pencegahan, pemulihan, dan perlindungan para korban.
Negara harus membuat kebijakan strategis dan berintegrasi dalam menghadirkan rasa aman bagi masyarakat Indonesia terkait permasalahan kekerasan seksual. RUU TPKS menjadi salah satu alat untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut.
"RUU ini terutama mengakomodir semua aspirasi yang berkembang di masyarakat, sehingga substansi RUU ini semakin menguatkan komitmen bersama dalam upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap kekerasan seksual," ujar Desy.