REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- JAKARTA -- Harga bahan bakar minyak (BBM) akhirnya resmi naik per 1 April 2022 setelah sekian lama diwacanakan. Pemerintah harus memilih opsi adaptasi menghadapi lonjakan harga minyak dunia ke atas USD100 per barrel karena krisis Rusia-Ukraina.
Akibatnya, rumah tangga di Indonesia kini mulai merasakan himpitan harga BBM setelah sebelumnya dibebani harga pangan. Padahal, pendapatan masyarakat baru berangsur pulih setelah didera Covid-19 yang panjang.
Adaptasi, menurut Kepala Badan Intelijen Negara (Kabin) Jend Pol (Purn) Budi Gunawan, adalah pilihan terbaik saat menghadapi faktor eksternal harga BBM. Terus memaksakan harga murah (mitigasi) tidak hanya sia-sia, malah sangat beresiko karena akan menguras Pertamina dan juga mudah ditumpangi kelompok kepentingan untuk membuat resah bahkan rusuh sosial.
"Dalam proses pengambilan keputusan adaptasi ini, pemerintah sangat memperhatikan nasib masyarakat berpenghasilan rendah. Karena itulah BBM yang naik adalah Pertamax, jenis yang selama ini dikonsumsi kalangan menengah atas. Sementara jenis Pertalite yang dikonsumsi mayoritas masyarakat bawah harganya tetap dan kini justru disubsidi," jelas Kabin yang juga Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini.
Masih demi melindungi masyarakat, kenaikan harga Pertamax pun, lanjut Budi Gunawan, tidak dilepas ke harga keekonomiannya yang kini sekitar Rp16.000. Juga tidak disamakan harga di negara tetangga yang berkisar Rp20.000-Rp30.000. Harga Pertamax naik ke kisaran harga Rp12.500-Rp13.500. Harga yang relatif terjangkau bagi para pemilik mobil mahal.
Meski demikian, Budi Gunawan mengakui kenaikan ini akan tetap berdampak tak langsung pada biaya hidup masyarakat. Terutama karena terakumulasi dengan kenaikan komoditas lain. Salah satu kunci stabilitas harga di pasar adalah Pemerintah akan berusaha keras memastikan suplai memadai.
Di sisi lain, masyarakat diimbau untuk mengkonsumsi jenis BBM sesuai peruntukan. Antara lain, kalangan yang mampu diharapkan tidak beralih ke BBM subsidi, karena subsidi disediakan Pemerintah sebagai jaring pengaman sosial melalui penetapan harga. Dan hal ini menyangkut kemampuan adaptasi realitas oleh masyarakat.
"Solusi paling substantif bagi masyarakat untuk menghadapi kondisi ekonomi yang mengarah ke stagflasi ini adalah bersiap dan mengadaptasikan pengelolaan hidup sehari-hari dengan kebutuhan riil masing-masing. Solusi ini tidak hanya baik bagi setiap individu masyarakat, tetapi juga baik bagi Bangsa. Karena membudayakan kembali nilai-nilai kearifan lama yang hampir hilang terkikis desakan budaya konsumerisme modern," jelas Budi Gunawan.
"Tentu untuk memastikan kenaikan harga-harga saat ini tidak sampai menyengsarakan rakyat, pemerintah akan terus bekerja keras menjamin ketersediaan, membuat perencanaan BBM yang lebih baik, real time, dan berbasis data, serta membuat rambu-rambu agar kalangan mampu tidak berpindah mengkonsumsi BBM subsidi," ujar Budi Gunawan.
Semua orang suka BBM murah. Segelintir ahli percaya, BBM murah mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun adaptasi harga BBM saat ini bisa lebih bernilai saat menjadi dorongan kuat munculnya inovasi. "Kita semua yakin, tantangan ini akan berlalu, dan dengan inovasi serta perilaku baru, bangsa Indonesia akan keluar lebih tangguh dan lebih bersatu menghadapi tantangan berikutnya," ucapnya.