Rabu 30 Mar 2022 11:04 WIB

Kementerian PPPA: Ada Perbedaan Pandangan Terkait Eksploitasi dan Perbudakan Seksual

RUU TPKS memasuki pembahasan perbuatan tindak pidana pelecehan seksual.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendukung pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dengan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) dan peserta Panitia Kerja RUU TPKS (Panja RUU TPKS).
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendukung pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dengan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) dan peserta Panitia Kerja RUU TPKS (Panja RUU TPKS).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mendukung pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dengan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) dan peserta Panitia Kerja RUU TPKS (Panja RUU TPKS). Namun, Kementerian PPPA menemukan adanya perbedaan pandangan mengenai eksploitasi dan perbudakan seksual. 

"Terkait konsepsi perbudakan seksual, eksploitasi seksual dan bagaimana konsepsi tersebut dapat dibedakan dari pelecehan seksual. Dalam hal ini, tim Panja DPR dan pemerintah memiliki sudut pandang berbeda mengenai frasa eksploitasi seksual dan perbudakan seksual," Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu dalam keterangan pers, Rabu (30/3/2022).

Baca Juga

Pembahasan RUU TPKS di DPR mulai memasuki ranah substansi terkait perbuatan yang ditetapkan sebagai tindak pidana kekerasan seksual dan merumuskan kembali mengenai hal-hal yang masuk ke dalam ranah pelecehan seksual. Dalam pembahasan bersama DPR ini, pemerintah bersama Baleg berupaya mengulas poin-poin pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dengan seksama, menetapkan batasan kekerasan seksual dan tindak pidana, serta implikasi dari penerapan pasal jika RUU telah ditetapkan.

Dalam pembahasan RUU TPKS, pemerintah mengajukan alternatif perumusan atas pasal tentang pelecehan seksual yang merupakan rumusan dari DPR. Kementerian PPPA mengapresiasi pandangan DPR terhadap rumusan DIM pemerintah sehingga pada akhirnya pemerintah dan DPR memiliki titik temu. 

"Kami menyadari bahwa seseorang dapat mengalami beberapa jenis kekerasan seksual, atau gabungan antara kekerasan seksual dan tindak pidana lainnya. Karenanya, pemerintah dan DPR mengupayakan dalam merumuskan jangan sampai ada perbuatan kekerasan seksual yang tertinggal," kata dia.

Pribudiarta menekankan agar RUU TPKS tidak tumpang tindih dengan peraturan lain. Karena itu, ia menekankan pentingnya pendalaman dan diskusi lintas instansi dan lembaga.

"Maka dari itu, kami sangat mengapresiasi berbagai masukan. Ini merupakan wujud kehati-hatian kita dalam merumuskan norma hukum tentang tindak pidana kekerasan seksual," ujar Pribudiarta. 

KemenPPPA mengapresiasi komunikasi konstruktif antara pihak pemerintah dan DPR. Kolaborasi dan sinergi yang kuat ini diharapkan akan memperkuat kepercayaan publik, menumbuhkan semangat bersama dan menguatkan harapan kepada RUU TPKS yang memiliki tujuan untuk melindungi penyintas kekerasan seksual mendapat keadilan.

"Ke depan, pembahasan akan masuk ke ranah yang lebih teknis tentang pemidanaan dan proses acara pidana," sebut Pribudiarta.

DIM RUU TPKS dari pemerintah berjumlah 588, terdiri dari 167 pasal tetap, 68 redaksional, 31 reposisi, 202 substansi, dan 120 substansi baru. Keseluruhan DIM ini terangkum di dalam 12 bab dan 81 pasal.

Dalam draf RUU dari DPR, memuat lima jenis kekerasan, yakni pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, dan penyiksaan seksual. Adapun pemerintah menambahkan pasal perbudakan seksual dan perkawinan paksa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement