REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Supratman Andi Agtas menjawab protes publik yang menilai pihaknya menunda-nunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Namun, ia menjelaskan, pembahasan terhambat oleh mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Kenapa ini jadwalnya terlalu lama ya pengesahan? semata-mata hanya karena soal mekanisme yang harus kita tempuh. Supaya kita menghindari cacat formil dari ketentuan Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang perundangan," ujar Supratman.
Baleg sendiri telah memulai membahas RUU TPKS yang terdiri dari 12 Bab dan 73 Pasal. Targetnya, RUU tersebut dapat disahkan sebelum masa reses pada 15 April mendatang.
"Mudah-mudahan RUU ini sebelum reses bisa kita sahkan. Jadi kalau saya lihat di jadwal kita, rapat panja dimulai hari Senin dan di jadwal kita akan melakukan raker kembali untuk pengambilan keputusan pada 5 April," ujar Supratman.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) milik pemerintah terkait RUU TPKS. Seluruh fraksi dimintanya untuk mempelajari terlebih dahulu DIM tersebut.
"Kita harapkan bisa selesai ya, walaupun kalau saya melihat DIM dari pemerintah ada cukup banyak. Baik itu perubahan substansi, maupun tambahan materi muatan baru, seperti yang disampaikan Bu Menteri (PPPA) tadi," ujar Supratman.
Saat ini, banyak kasus kekerasan seksual yang proses hukumnya mandek. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, hal itu disebabkan lantaran RUU TPKS yang tak kunjung rampung dibahas dan disahkan oleh DPR
Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur mengatakan, mandeknya proses hukum kasus kekerasan seksual itu tampak dalam pendampingan hukum yang dilakukan LBH Jakarta. Sepanjang 2021, LBH Jakarta menerima 35 pengaduan kasus kekerasan seksual.
Bentuknya berupa kasus perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan berbasis gender online, eksploitasi seksual, dan pemaksaan aborsi. "(Tapi), kasus-kasus tersebut masih menemui hambatan yang serupa dari tahun-tahun sebelumnya," ujar Isnur dalam siaran persnya, Selasa (8/3/2022).
Hambatan itu berupa proses hukum yang berlarut-larut, pembuktian, tidak adanya pasal yang mengatur kejahatan seksual tertentu, intimidasi dari pelaku, dan kurangnya dukungan dari lingkungan terdekat korban. "Bahkan perspektif aparat penegak hukum cenderung menyalahkan korban dan tidak adanya perlindungan yang komprehensif bagi korban," ujar Isnur.