Sabtu 09 Apr 2022 12:13 WIB

Ada Dugaan Kriminalisasi Perkawinan, Sekjen MUI Minta Pengesahan RUU TPKS Ditunda

MUI menilai soal perkawinan sudah diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2019.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus raharjo
Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menyampaikan sambutan saat acara penandatanganan MoU bersama Walikota Hebron Palestina yang digelar secara hybrid di Kantor MUI, Jakarta, Senin (29/11). Majelis Ulama Indonesia melakukan penandatanganan MoU kerjasama dengan Walikota Hebron Palestina untuk pembangunan Rumah Sakit Indonesia Hebron (RSIH) dengan biaya mencapai Rp87 miliar yang dihasilkan dari donasi sejumlah lembaga dan masyarakat Indonesia. Saat ini dana  yang sudah terkumpul untuk pembangunanan RSIH mencapai Rp24,7 miliar. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menyampaikan sambutan saat acara penandatanganan MoU bersama Walikota Hebron Palestina yang digelar secara hybrid di Kantor MUI, Jakarta, Senin (29/11). Majelis Ulama Indonesia melakukan penandatanganan MoU kerjasama dengan Walikota Hebron Palestina untuk pembangunan Rumah Sakit Indonesia Hebron (RSIH) dengan biaya mencapai Rp87 miliar yang dihasilkan dari donasi sejumlah lembaga dan masyarakat Indonesia. Saat ini dana yang sudah terkumpul untuk pembangunanan RSIH mencapai Rp24,7 miliar. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan, mengaku, telah mencermati pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Sexual (TPKS). RUU tersebut telah mengalami pembahasan jilid kedua, karena pembahasan jilid pertama banyak menuai kritik sehingga pembahasannya ditunda.

Buya Amirsyah mengatakan, pembahasan RUU itu akhir-akhir ini terkesan mengulang terhadap sejumlah pasal yang dianggap bermasalah. Padahal dalam diktum menimbang telah dijelaskan, pertama bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat.

Baca Juga

"Kedua bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan, perlindungan, akses keadilan, dan pemulihan, belum memenuhi kebutuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual, serta belum komprehensif dalam mengatur mengenai hukum acara," kata Buya Amirsyah melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Sabtu (9/4/2022)

Buya Amirsyah mengatakan, setelah dicermati terdapat sejumlah pasal yang cenderung melakukan kriminalisasi perkawinan bagi anggota masyarakat karena pasal 4 sampai pasal 19 jelas berujung pada pidana. Antara lain, pertama, pasal perkawinan anak pada pasal dipidana 9 tahun penjara. Kedua, perkawinan anak  pasal 10 ayat 2 dianggap sebagai pemaksaan pemaksaan perkawinan.

Pemaksaan perkawinan pasal 4 termasuk tindak pidana kekerasan seksual dan pasal 1 pengertian anak adalah yang sebelum 18 tahun. Jadi jika ada anggota menikahkan anak gadisnya yang usia 17 tahun 11 bulan, itu kriminal dan dikenai pidana 9 tahun penjara atau denda Rp 200 juta.

Padahal soal perkawinan sudah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Kemudian, dua tahun lalu UU tersebut direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang berlaku sejak 15 Oktober 2019. Adapun dalam aturan baru tersebut, menyebut bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki.

"Jadi kesimpulan sementara RUU TPKS terkesan melakukan kriminalisasi dalam narasi pemaksaan, kurang mengandung nilai untuk mencegah berdasar nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT," ujarnya.

Atas dasar itu, Buya Amirsyah mengatakan, menolak pengesahannya RUU TPKS. Menurutnya, logika hukum belum seperti yang disebutkan dengan diktum menimbang dalam mencegah agar terhindar dari tindak pidana kekerasan seksual.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement