REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan, mengaku, telah mencermati pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Sexual (TPKS). RUU tersebut telah mengalami pembahasan jilid kedua, karena pembahasan jilid pertama banyak menuai kritik sehingga pembahasannya ditunda.
Buya Amirsyah mengatakan, pembahasan RUU itu akhir-akhir ini terkesan mengulang terhadap sejumlah pasal yang dianggap bermasalah. Padahal dalam diktum menimbang telah dijelaskan, pertama bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat.
"Kedua bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan, perlindungan, akses keadilan, dan pemulihan, belum memenuhi kebutuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual, serta belum komprehensif dalam mengatur mengenai hukum acara," kata Buya Amirsyah melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Sabtu (9/4/2022)
Buya Amirsyah mengatakan, setelah dicermati terdapat sejumlah pasal yang cenderung melakukan kriminalisasi perkawinan bagi anggota masyarakat karena pasal 4 sampai pasal 19 jelas berujung pada pidana. Antara lain, pertama, pasal perkawinan anak pada pasal dipidana 9 tahun penjara. Kedua, perkawinan anak pasal 10 ayat 2 dianggap sebagai pemaksaan pemaksaan perkawinan.
Pemaksaan perkawinan pasal 4 termasuk tindak pidana kekerasan seksual dan pasal 1 pengertian anak adalah yang sebelum 18 tahun. Jadi jika ada anggota menikahkan anak gadisnya yang usia 17 tahun 11 bulan, itu kriminal dan dikenai pidana 9 tahun penjara atau denda Rp 200 juta.
Padahal soal perkawinan sudah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Kemudian, dua tahun lalu UU tersebut direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang berlaku sejak 15 Oktober 2019. Adapun dalam aturan baru tersebut, menyebut bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki.
"Jadi kesimpulan sementara RUU TPKS terkesan melakukan kriminalisasi dalam narasi pemaksaan, kurang mengandung nilai untuk mencegah berdasar nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT," ujarnya.
Atas dasar itu, Buya Amirsyah mengatakan, menolak pengesahannya RUU TPKS. Menurutnya, logika hukum belum seperti yang disebutkan dengan diktum menimbang dalam mencegah agar terhindar dari tindak pidana kekerasan seksual.