Selasa 22 Mar 2022 14:13 WIB

Pantau Bencana, Indonesia Butuh Sembilan Satelit Pengindraan Jauh

Indonesia disarankan membuat satelit. Dengan satelit, data didapat lebih akurat.

Ilustrasi. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan Indonesia membutuhkan sembilan satelit pengindraan jauh untuk memantau kondisi kebencanaan di Indonesia.
Foto: republika
Ilustrasi. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan Indonesia membutuhkan sembilan satelit pengindraan jauh untuk memantau kondisi kebencanaan di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan Indonesia membutuhkan sembilan satelit pengindraan jauh untuk memantau kondisi kebencanaan di Indonesia. Sembilan satelit itu untuk melakukan orbitan tanpa jeda.

“Karena wilayah Indonesia yang sangat luas," kata Deputi Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa dan Jaringan Komunikasi BMKG Muhamad Sadly pada kuliah umum dalam rangka Hari Meteorologi Dunia Ke-72 secara daring diikuti di Jakarta, Selasa (22/3/2022).

Baca Juga

Menurut Sadly, wilayah Indonesia punya ancaman bencana yang sangat kompleks dan tidak bisa ditangani secara normatif, ditambah lagi dengan kondisi cuaca yang saat ini semakin ekstrem maka dibutuhkan teknologi. Menurut dia, jika hanya satu satelit maka ada jeda 100 menit saat mengorbit sehingga tidak bisa dilakukan untuk pemantauan bencana.

Tanpa satelit, tambah Sadly, akan sulit melakukan pemantauan karena butuh waktu lama sebab wilayah Indonesia yang luas dari Sabang sampai Merauke. "Saat bencana terjadi baik gempa, tsunami atau bencana hidrometeorologi lainnya, sistem komunikasi akan kolaps. Kita tidak bisa gunakan komunikasi berbasis HP, apalagi terjadi gempa besar seperti di Palu pada 2018. Lalu bagaimana orang bisa menyelamatkan diri kalau tidak ada sistem komunikasi yang andal," tambah dia.

Prof Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ahli satelit gelombang mikro dari Universitas Chiba, Jepang, dalam kuliah umum tersebut mengatakan, Indonesia harus memiliki sensor karena letak wilayah di ekuator dan pertumbuhan awan yang cepat berdampak bencana hidrometeorologi dapat terjadi secara tiba-tiba. "Saya merekomendasikan full polarimetric spaceborne Synthetic Aperture Radar (SAR) agar lebih detail karena di Indonesia pertumbuhan awan cepat sekali," kata pria yang akrab disapa Prof Josh itu seraya menambahkan perlu resolusi waktu yang memungkinkan kurang dari 10 menit.

Full polarimetric spaceborne adalah metode analisis citra radar dengan mengeksploitasi polarisasi citra dengan radar apertur sintetis (SAR) untuk membuat gambar dua dimensi atau rekonstruksi objek tiga dimensi, seperti lanskap. Dia juga menyarankan agar Indonesia membuat satelit sendiri sesuai kebutuhan, bahkan jika perlu teknologi yang dibuat melampaui negara lain.

Dengan satelit, data yang didapat lebih akurat dan cepat sehingga bencana hidrometeorologi seperti hujan, angin kencang, longsor dan lainnya dapat diprediksi. Bahkan menurut dia, anggaran yang diperlukan untuk membuat satelit tidak terlalu besar, sekitar Rp 150 miliar untuk satu satelit yang pernah ia buat.

"Kita kombinasikan satelit meteorological geostationary untuk meteorologi yang khas Indonesia, yaitu jumlah gelombang dan aplikasinya. Selain itu, pembangunan satelit meteorologi menggunakan SDM dan material dalam negeri Indonesia," kata Prof Josh.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement