REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa penetapan logo halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama idealnya menyerap aspirasi publik, seperti MUI, ahli/akademisi, masyarakat, hingga seniman. Logo dibuat dengan mempertimbangkan beragam aspek.
"Sebagai kebijakan publik idealnya menyerap aspirasi publik yang hidup di masyarakat, dengan mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis, historis, dan sosiologis," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam dalam konferensi pers bersama BPJPH di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan penetapan label halal memang domain pemerintah, baik sebelum maupun setelah adanya Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal. Adapun logo halal sebelumnya didasarkan keputusan bersama antara Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Agama, dan MUI.
"Label pada kemasan pangan memuat keterangan halal dan Badan POM membangun kesepahaman bahwa bentuk keterangan halal mengikuti MUI. Jadi Badan POM yang memberikan delegasi," kata dia.
Kini setelah adanya Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal, MUI melihat secara proporsional karena penetapan logo halal merupakan domain Kementerian Agama melalui BPJPH.
Dengan demikian, dia menegaskan tidak ada pengambilalihan dari MUI ke BPJPH, hanya pemindahan kewenangan sesuai dengan Undang-Undang dan Surat Keputusan Kepala BPJPH."Memang kewenangannya (BPJPH), hanya saja pada saat BPOM menjadikan keterangan halal dari MUI menjadi pilihan, itu pertimbangannya historis, sosiologis, keagamaan, dan keberterimaan masyarakat," kata dia.
Ia mengatakan penetapan label halal itu termasuk di dalamnya bagian dari mata rantai yang tidak terpisahkan dari proses sertifikasi halal. Ke depan, MUI meminta ada diskusi mendalam yang menyangkut kebijakan publik."Hal-hal seperti ini perlu kita tingkatkan dalam bentuk komunikasi secara lebih intensif," demikian Asrorun