REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku akan segera berkordinasi dengan Bareskrim Polri terkait penyidikan dugaan pencucian uang terpidana korupsi, Setya Novanto. Koordinasi ini dilakukan untuk mempertanyakan alasan kepolisian tiba-tiba menangani dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan mantan Ketua DPR RI tersebut.
"Kira-kira di sana itu predicate crimenya itu apa? Kalau predicate crime-nya korupsi kan KPK yang menangani," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Sabtu (12/3).
Alexander mengaku, KPK belum tahu apa predicate crime atau tindak pidana asal yang menyebabkan pihak Direktorat Tindak Pidana Ekonomi menangani dugaan pencucian uang Novanto. Dia mengatakan, seharusnya KPK yang melakukan penyidikan jika terkait dengan tindak pidana korupsi.
"Karena harusnya yang melakukan penyidikan TPPU itu adalah penyidik yang melakukan atau menangani perkara korupsinya," kata Alex lagi.
Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta, KPK mengambil alih penyidikan dugaan TPPU yang dilakukan Setya Novanto. Dia mengatakan, penyidikan ini mangkrak di Bareskrim Polri.
"Karena di Bareskrim tidak jalan lagi kasusnya, ini harus diambil alih KPK karena perkara pokok korupsi e-KTP itu ada di KPK," kata Boyamin.
MAKI juga meminta KPK untuk menambah tersangka baru dalam dugaan TPPU tersebut. Boyamin mengungkapkan, salah satu nama pihak yang dapat ditetapkan sebagai tersangka adalah pengusaha Made Oka Masagung.
Dia mengatakan, nama tersebut muncul karena dia diduga membantu Setya Novanto menyembunyikan uang hasil korupsi e-KTP ke Singapura. Dia mengungkapkan, penyembunyian dilakukan dengan modus transaksi investasi di negara tersebut.
Seperti diketahui, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, dia diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar Amerika Serikat dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan pada penyidik.
Vonis terhadap Setnov ini dijatuhkan karena dia terbukti menerima uang sebesar 7,3 juta dolar Amerika Serikat dari pengadaan proyek e-KTP yang berujung merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Selain itu, dia disebut mempengaruhi proses penganggaran, pengadaan barang dan jasa, serta proses lelang proyek.