Kamis 10 Mar 2022 14:36 WIB

LPSK: Proses Hukum Kasus Kerangkeng Manusia Lambat

LPSK menduga proses hukum terhambat kekuasaan Terbit yang sudah menjalar.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ilham Tirta
Kerangkeng Manusia Bupati Langkat Non-Aktif
Foto: Republika
Kerangkeng Manusia Bupati Langkat Non-Aktif

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai proses penyelesaian kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peragin-angin (TRP) berjalan lamban. Hal ini diduga karena kekuasaan TRP menjalar di berbagai lini.

 

Baca Juga

Dari hasil koordinasi, investigasi dan penelahaan dari 27 Januari hingga 5 Maret 2021, LPSK menemukan tujuh dugaan tindak pidana terkait kasus ini, yaitu perdagangan orang, kekerasan terhadap anak, penyiksaan/penganiayaan berat, pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penistaan agama, dan kecelakaan kerja. Kejahatan ini dilakukan oleh TRP dan pelaku lainnya termasuk oknum aparat.

“Proses hukum sejak ditemukannya kerangkeng manusia di Langkat sudah lebih dari satu bulan, tetapi hingga kini belum ada progres berarti,” kata Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu dalam keterangan yang dikutip Republika.co.id, Kamis (10/3/2022).

Edwin menilai lambatnya kasus ini karena TRP merupakan tokoh masyarakat, pengusaha, ketua OKP/ormas, serta pejabat publik. TRP selama ini memanfaatkan posisi relasi kuasa dalam melegitimasi keberadaan kerangkeng sebagai tempat rehabilitasi. Padahal, TRP tidak memiliki izin menyelenggarakan fasilitas tersebut.

"Sebagaimana kita ketahui, proses hukum terhadap temuan kerangkeng di Langkat ini sudah cukup lama dan terkesan lamban,” ujar Edwin.

Bupati Langkat nonaktif TRP juga diketahui orang yang memiliki basis massa dari ormas yang digawanginya, memiliki kekuatan harta, dan pejabat daerah sejak 2014. Sebelum bupati, TRP menjabat Ketua DPRD Langkat.

TRP disebut membangun dinasti dengan menempatkan keluarga dan orang dekatnya dalam struktur pemerintahan kabupaten hingga desa, termasuk unsur di DPRD Langkat. Atas dasar itu, Edwin menilai TRP layak disebut local strongman.

"Local strongman merupakan orang kaya yang melakukan kontrol sosial, menempatkan diri atau anggota keluarganya pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-aturan peraturan perundang-undangan,” kata Edwin.

Edwin menyinggung, temuan kerangkeng manusia menunjukkan perbudakan manusia terjadi bukan hanya karena modus operandi eksploitasi berbasis keuntungan material.

Tetapi juga karena mereka yang tahu dan berwenang, tak mau mengambil tindakan akibat pengaruh dan kuasa local strongman tersebut.

LPSK merekomendasikan agar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) membentuk tim lintas kementerian dan lembaga. Tujuannya untuk memastikan proses hukum terhadap temuan kerangkeng manusia di Langkat ditindaklanjuti secara profesional dan tuntas. "Tentu dengan memerhatikan pemenuhan hak korban, termasuk memastikan tidak ada praktik yang sama di wilayah lainnya," ujar Edwin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement