REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Para Syndicate, Virdika Rizky Utama, menilai penundaan pemilu menanggung banyak konsekuensi politik. Salah satunya berpotensi menjadi pintu masuk otoritarianisme.
"Saya memperkirakan kalau misalnya ada tiga periode pembahasan masuk legislasi, pertama negara akan menjadi semakin sangat kuat, dan ini adalah pintu masuk otoritarianisme," kata Virdika dalam diskusi daring, Rabu (9/3/2022).
Selain itu penundaan pemilu juga berpotensi mendapatkan gelombang protes yang sangat besar. Penolakan diprediksi akan datang dari para aktivis 1998.
"Generasi setelah reformasi yang juga menjadi mahasiswa, aktivis dan segala macamnya ini akan berelaborasi, mereka mendapatkan titik temu, dua generasi bertemu dan ini akan menjadi yang sangat skala besar kemudian menimbulkan gejolak politik dan ekonomi juga justru akan runtuh," ujarnya.
Kemudian hal lain yang paling parah mungkin terjadi adalah mengentalnya polarisasi di masyarakat. Para ketum yang mendukung amandemen dinilai akan memanfaatkan pendukung fanatiknya di sosmed untuk menggaungkan dukungan wacana tersebut.
"Mereka yang anti Jokowi juga melakukan protes dan kelompok-kelompok pro demokrasi lainnya juga akan menimbulkan protes jadi ini ada hal sosial yang sangat besar gitu pertaruhannya sangat besar ini masalah keutuhan NKRI, kesatuan Indonesia juga bisa terancam," ucapnya.
Virdika mengatakan isu penundaan pemilu justru malah menimbulkan gesekan luar biasa di masyarakat dan instabilitas politik dan ekonomi. Ia meminta Presiden Jokowi bersikap tegas menolak penundaan pemilu.