Selasa 08 Mar 2022 06:57 WIB

Legislator PDIP Sebut Masalah Minyak Goreng Memalukan

Persoalan ini sudah terlalu lama tidak terselesaikan, sungguh memalukan.

Warga mengantre untuk mendapatkan minyak goreng kemasan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14 ribu per liter saat Operasi Pasar Bulog di kantor Kecamatan Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (2/3/2022). Operasi pasar tersebut dilakukan untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasaran sekaligus upaya mengatasi kelangkaan.
Foto: Antara/Mohammad Ayudha
Warga mengantre untuk mendapatkan minyak goreng kemasan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14 ribu per liter saat Operasi Pasar Bulog di kantor Kecamatan Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (2/3/2022). Operasi pasar tersebut dilakukan untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasaran sekaligus upaya mengatasi kelangkaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi VI DPR, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, menyoroti masalah kelangkaan minyak goreng yang belum terselesaikan hingga saat ini.

“Saya belum melihat penyelesaian yang komprehensif terhadap permasalahan ini, sepertinya jalan di tempat," kata Deddy, Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (8/3/2021).

Menurut Deddy, saat ini kelangkaan minyak goreng masih terus berlanjut di berbagai daerah dan bahkan di Jakarta. Sementara harga di pasaran, masih jauh dari Harge Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan.

Ia melihat bahwa industri ini rusak parah, rantai pasoknya dari hulu hingga hilirnya sudah bermasalah. Rantai pasok itu mulai dari pekebun sawit, produsen CPO, pabrik minyak goreng, distributor, agen, hingga pedagang, sudah tidak saling nyambung.

“Semua pihak dirugikan. Jadi tidak hanya rakyat yang kesulitan mendapatkan barang, tetapi harganya pun sangat mahal. Sebab produsen CPO juga mengeluh,” ujarnya.

Deddy mengaku telah mendapatkan laporan produsen CPO misalnya, mengeluh karena tidak ada jaminan mereka bisa melakukan ekspor. Padahal mereka mengaku sudah memenuhi persyaratan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak goreng.

Selanjutnya, kata Deddy, di sisi produsen minyak goreng, mayoritas merasa masih kesulitan mendapatkan bahan baku. Padahal jika dilihat struktur industrinya, dari sekitar 400 pabrik minyak goreng yang ada, hampir 51 persen dari total produksi dikuasai oleh hanya 4-5 perusahaan. Artinya, sebenarnya mudah sekali untuk mengetahui sebaran hasil produksi minyak goreng dari pabrik-pabrik itu.

“Saya menerima keluhan dari banyak pengusaha sawit, baik domestik maupun PMA. Mereka bingung dengan berbagai ketidakjelasan aturan yang ada, dan ini sangat merugikan mereka,” katanya.

Oleh karena itu dirinya berharap agar Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian serta Kementerian ESDM segera duduk bersama dengan para stakeholder terkait dan para pelaku industri.

"Persoalan ini sudah terlalu lama tidak terselesaikan, sungguh memalukan. Sengkarut ini merugikan semua pihak, mulai dari hulu hingga ke hilir, konsumen dan bahkan negara secara tidak langsung juga dirugikan," kata legislator dari daerah pemilihan Kalimantan Utara tersebut.

Deddy berharap agar Kementerian Perdagangan memberikan kepastian solusi terhadap permasalahan ini. Ini ujian bagi Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan tentunya Menteri Perdagangan. "Kemendag tidak boleh bermain aman."

Terkuncinya ekspor CPO itu, kata dia, tidak hanya merugikan pengusaha sawit, tetapi juga merugikan penerimaan negara. Ketiadaan minyak goreng juga merugikan pedagang dan pelaku ekonomi, baik yang besar, menengah maupun yang kecil.

"Saya meminta Kemendag dan Menteri Perdagangan buka-bukaan, apa masalahnya hingga hampir 3 bulan lebih kelangkaan minyak goreng masih terus terjadi,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement