Sabtu 05 Mar 2022 06:07 WIB

SMRC: Penundaan Pemilu Terjadi di Negara Demokrasi Lemah

Orang berargumen Pemilu ditunda dengan alasan pandemik, tak punya basis empirik kuat.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Founder Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani mengatakan, penundaan Pemilu 2024 yang digulirkan elite partai politik di Indonesia juga tidaklah tepat.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Founder Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani mengatakan, penundaan Pemilu 2024 yang digulirkan elite partai politik di Indonesia juga tidaklah tepat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani mengatakan, bahwa penundaan pemilihan umum (Pemilu) memang terjadi di sejumlah negara. Namun, hal tersebut terjadi di negara-negara yang notabenenya memiliki demokrasi yang lemah.

Dia mencontohkan, negara seperti Zimbabwe dan Haiti yang baru mengalami insiden pembunuhan presiden. Itu berbeda dengan negara-negara yang demokrasinya sudah matang, seperti Korea Selatan. 

"Itu (penundaan pemilu) umumnya terjadi di negara-negara yang memiliki sistem demokrasi yang sangat lemah atau negara-negara non-demokratis," ujar Saiful dalam akun Youtube resmi SMRC, Jumat (4/3).

"Orang yang berargumen bahwa Pemilu seharusnya ditunda dengan alasan pandemik tidak punya basis empirik yang kuat," sambungnya.

Dia kemudian, mengacu studi dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance, pada rentang 2020 sampai 2021, terdapat 301 pemilihan umum di berbagai belahan dunia. Sebanyak 62 persen di antaranya diselenggarakan sesuai waktu atau jadwal yang telah ditentukan.

Sementara yang ditunda kurang dari enam bulan ada sekira 32 persen. Sementara ada 2 persen lainnya ditunda selama setahun dan 4 persen masih ditunda dan belum jelas akan dilakukan kapan.

"Dari data ini, kita melihat bahwa mayoritas agenda pemilu, termasuk pemilu lokal, tidak terganggu secara umum oleh Covid-19," ujar Saiful.

Di samping itu, penundaan Pemilu 2024 yang digulirkan elite partai politik di Indonesia juga tidaklah tepat. Ia berkaca pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 yang tetap digelar saat pandemi Covid-19.

"Hal itu (Pilkada 2020) adalah tes apakah karena Covid-19, maka demokrasi elektoral kita bisa terganggu. Ternyata Covid bisa diurusi oleh pemerintah dengan serius, sementara kewajiban konstitusional untuk pilkada juga tetap dipenuhi," ujar guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement