Sabtu 26 Feb 2022 17:55 WIB

Usulan Penundaan Dinilai Aneh Setelah Jadwal Pemilu Disepakati

Jika DPR tidak sanggup menjaga konstitusi, civil society akan terus menjaganya.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus raharjo
Pemilu (ilustrasi).
Pemilu (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah menilai wacana penundaan Pemilu 2024 berpotensi menjadi preseden buruk apabila direalisasikan. Sebab DPR dan pemerintah sebelumnya telah menyepakati bahwa Pemilu digelar 14 Februari 2024.

"Maka aneh sebenarnya kalau ada suara-suara lain atau ada suara-suara yang berupaya untuk menunda pemilu justru datang dari anggota DPR," kata Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, Abdul Rohim Ghazali, dalam diskusi daring bertajuk 'Tolak Penundaan Pemilu 2024', Sabtu (26/2/2022).

Baca Juga

Rohim mengatakan penundaan pemilu jelas bertentangan dengan konstitusi. Sebab konstitusi mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun dan dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan.  

"Jabatan presiden juga berbeda dengan jabatan kepala daerah, kepala daerah mungkin hanya diatur dengan undang-undang, sedangkan jabatan kepala negara diatur dalam konstitusi kita. Kalau kita akan menambahnya maka itu jadi bagian dari upaya-upaya untuk mengamandemen konstitusi," ujarnya.

Selain itu, Rohim mengatakan penundaan pemilu juga akan menghambat proses regenerasi kepemimpinan nasional. Ia menilai banyak kader-kader bangsa berkualitas yang dinilai mampu memimpin bangsa ini ke depan.

"Sangat aneh kemudian kalau ada pihak-pihak yang mengkhawatirkan atau berupaya untuk menihilkan adanya kader-kader yang lebih baik misalnya dari kepemimpinan yang ada sekarang ini sehingga diupayakan adanya penundaan karena ketidaksiapan dari kader-kader politik yang ada. Ini kan suara-suara yang saya kira perlu kita luruskan juga," ujarnya.

Rohim mengingatkan demokrasi menjadi bagian penting dari bangunan politik kebangsaan Indonesia yang harus dijaga bersama-sama. Kelompok masyarakat sipil berkomitmen untuk terus menjaga demokrasi yang telah dibangun selama ini.

"Kalau DPR atau orang-orang yang punya tanggung jawab secara konstitusional untuk menjaganya tidak sanggup maka kami dari kalangan civil society akan terus menjaga sampai batas kemampuan kami. Karena demokrasi kita bangun dengan susah payah dan bahkan upaya-upaya untuk membangun itu sudah kami lakukan kalangan civil society ini sejak Indonesia belum merdeka, dan kita punya tanggung jawab untuk menjaganya," tegas Rohim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement