Jumat 25 Feb 2022 15:14 WIB

Komisi VIII DPR Desak Menteri Agama Sendiri yang Minta Maaf Terkait Adzan

Komisi VIII menilai pernyataan menteri agama telah melukai hati rakyat.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus raharjo
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto, mendesak agar Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas secara gagah menyampaikan permohonan maaf terkait polemik adzan yang dianalogikan dengan gonggongan anjing. Permohonan maaf tersebut perlu disampaikan secara langsung untuk meredam persoalan tersebut di publik.

"Pak Menteri memang sudah menjelaskan duduk persoalannya melalui juru bicaranya. Nah, tapi menurut saya kalau juru bicaranya enggak cukup, sebaiknya Pak Menteri Agama dengan gagah, tampil menjelaskan duduk persoalannya dan kalau perlu untuk meredam dinamika yang terjadi satu dua hari ini," kata Yandri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/2/2022).

Baca Juga

Ia menilai pernyataan Menag tersebut telah melukai hati rakyat. Karena itu, Yandri meminta Menag menjelaskan duduk persoalan dan meluruskan sejelas-jelasnya terkait apa yang dimaksud dengan pernyataan di Riau beberapa waktu lalu.

Yandri menilai, jika pernyataan maaf bisa menyelesaikan permasalahan dengan cepat, ia meminta agar Menag bisa segera menyampaikan permintaan maaf. "Minta maaf itu bukan sesuatu yang salah, minta maaf itu bukan sesuatu yang diharamkan. Kalau dengan itu kata-kata minta maaf, kemudian khilaf itu menjadi solusi terbaik untuk meluruskan semua persoalan saya kira nggak ada masalah," ujarnya.

"Nah kalau misalkan itu dianggap banyak tuntutan minta maaf, mengklarifikasi, meluruskan, saya kira enggak ada masalah. Demi ini untuk supaya berakhir perdebatan yang satu dua hari terlalu tinggi di publik," imbuhnya.

Selain itu menanggapi Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, Yandri meminta agar aturan itu tidak digeneralisasi di semua daerah. Sebab, di sejumlah daerah penggunaan pengeras suara di masjid justru menjadi kearifan lokal.

"Saya minta Kementerian Agama coba lagi dimitigasi, jangan digeneralisir semua persoalan dan saya meyakini ini tidak bisa dilakukan secara keseluruhan. Misalnya di Sumbar, di Aceh di kantong-kantong pondok pesantren, itu sudah menjadi budaya, sudah menjadi kearifan lokal. Tapi misalnya di Bali, di Sulut, di NTT, di Papua, itu sudah bagus kok toleransinya," jelas Yandri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement