Jumat 18 Feb 2022 16:48 WIB

RUU TPKS Terhambat: Diusulkan Dibahas Saat DPR Reses, Tapi Omicron Jadi Dalih

Pembahasan RUU TPKS tertunda karena DPR memasuki masa reses selama 22 hari.

Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna DPR ke-16 Masa Persidangan III Tahun 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (18/2/2022). Pembahasan RUU TPKS harus tertunda karena DPR memasuki masa reses selama 22 hari.
Foto:

Sejak awal bulan ini, sebagian anggota DPR sudah mengusulkan agar RUU TPKS dibahas meski DPR reses. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Luluk Nir Hamidah misalnya, mengharapkan, payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual itu dibahas saat masa reses lantaran masa reses yang cukup lama.

"Ya kenapa tidak (bahas saat reses). Kalau memang itu dimungkinkan tidak ada persoalan sebenarnya, kalau memang disepakati dan Baleg, pimpinannya setuju sih bisa saja. Karena kan masa reses lumayan ya sampai 22 hari, cukup lama," ujar Luluk di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (8/2/2022).

Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR Ahmad Muzani pun sebelumnya mendukung percepatan pembahasan RUU TPKS. Ia pun mendukung apabila RUU tersebut dibahas saat DPR menjalani masa reses.

"Kami akan usulkan itu untuk segera dibahas sehingga masa reses ini kita bisa bersidang untuk membahas itu," ujar Muzani di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (10/2/2022).

Pembahasan RUU TPKS yang diusulkan pada masa reses tersebut, menurut Muzani, tidak menjadi permasalah. Apalagi bila memang bertujuan untuk mempercepat pembahasan RUU yang diharapkan banyak pihak segera disahkan menjadi undang-undang.

"Dalam arti makin cepat makin bagus karena problem yang dihadapi sekarang itu semakin kompleks. Dan makin kompleks karena kemajuan sosial, teknologi dan seterusnya sehingga kepastian untuk segera mencegah kekerasan seksual harus segera dipastikan," ujar Muzani.

"Karena itu upaya untuk segera menghadirkan undang-undang yang bisa menangani kekerasan seksual itu kami mendukung. Kalau perlu bila masa reses ini ya kita bersidang untuk itu," sambungnya.

623 DIM

Berdasarkan informasi dari pihak pemerintah, Tim Gugus Tugas Percepatan RUU TPKS telah merumuskan 623 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TPKS. Ketua Tim Gugus Tugas RUU TPKS Eddy O.S Hiariej menyebut, DIM yang disusun ini masih membutuhkan banyak masukan dari koalisi masyarakat sipil dan juga akademisi.

"Banyak substansi baru dalam DIM. Tentunya DIM pemerintah ini masih butuh banyak masukan dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi," kata Eddy saat diskusi publik pembahasan DIM RUU TPKS, dikutip dari siaran pers KSP, Jumat (4/2/2022).

Sebelumnya, Tim Gugus Tugas RUU TPKS telah melakukan konsinyering pembahasan DIM sebagai tindak lanjut atas penetapan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR. Untuk menyempurnakan substansi DIM yang akan menjadi lampiran Surat Presiden (Surpres) ke DPR, Kantor Staf Presiden bersama tim gugus tugas menggelar diskusi publik yang melibatkan koalisi masyarakat sipil dan akademisi.

Eddy yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM menjelaskan, secara substansi DIM RUU TPKS yang disusun pemerintah mencakup soal hukum acara pidana hingga penanganan dan rehabilitasi korban.

"Unggulan DIM RUU TPKS ada pada hukum acara yang sangat progresif dan advance. Sebab sebelumnya dari ribuan kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, penyelesaiannya hanya kurang dari 5 persen. Berarti ada masalah pada hukum acaranya. Nah ini yang diperbaiki," jelas Eddy.

 

Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam kesempatan berbeda pernah menyampaikan, RUU TPKS memuat jenis kekerasan dan unsur pidana yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Misalnya pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual berbasis online, pemaksaan kontrasepsi, eksploitasi seksual, dan penyiksaan seksual. 

"Selain itu ada pemberatan hukuman, pidana tambahan, restitusi, serta tindakan rehabilitasi bagi pelaku,” ujar Bintang. 

Sementara itu, Penyidik Madya Tingkat III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Jean Calvijn Simanjuntak mengatakan, terdapat beberapa ruang lingkup hukum yang diatur dalam RUU TPKS. Salah satunya adalah syarat aparat penegak hukum (APH) yang menangani kasus kekerasan seksual. 

 

“Dimasukkan dalam hukum acara, syarat APH adalah memiliki kompetensi dan mengikuti pelatihan. Tidak hanya itu, APH juga harus sensitif gender untuk menghindari reviktimisasi korban. Selain itu, RUU TPKS ini tidak menggunakan pendekatan restorative justice,” ucap Calvijn.

 

photo
Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement