REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengakui undang-undang yang paling banyak diuji MK pada 2021. Berdasarkan perkara yang diregistrasi pada 2021 yakni sebanyak 48 UU dimohonkan pengujian, lima diantaranya UU paling sering dimohon pengujian.
"Pertama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja (UU ciptaker) yang diuji masing-masing sebanyak sembilan kali," kata Anwar saat menyampaikan Laporan Tahunan MK 2021 di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (10/2).
Kedua, lanjut Anwar, pengujian terhadap Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yang diuji empat kali. Lalu berikutnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang masing-masing diuji sebanyak tiga kali.
Sementara, untuk perkara Pilkada tahun 2020 yang diputus MK pada 2021, MK menerima permohonan baik secara online maupun offline dan meregistrasi 153 perkara. Dari jumlah tersebut, terbanyak yakni 130 perkara adalah pemilihan bupati dan wakil bupati, lalu pemilihan wali kota dan wakil wali kota sebanyak 14 perkara dan sembilan perkara pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Sedangkan, khusus untuk penanganan perkara pada 2021, MK menangani sebanyak 277 perkara dengan tiga jenis kewenangan yakni 121 perkara PUU, tiga perkara SKLN dan 153 perkara PHPKada. Dari 277 perkara tersebut, sebanyak 253 perkara telah diputus dengan rincian 99 putusan perkara PUU, tiga perkara SKLN, dan 151 putusan PHPkada.
Sementara hingga akhir 2021, masih terdapat 22 perkata PUU yang masih dalam proses pemeriksaan. Anwar mengungkap, dari 121 perkara PUU yang teregister pada 2021, sebanyak 71 perkara diregistrasi pada 2021 ditambah dengan 50 perkara yang diregistrasi pada tahun sebelumnya.
"Dari 121 perkara, MK telah mengutus sebanyak 99 perkara, dengan jumlah ini artinya, MK telah menyelesaikan sejumlah 81,82 persen dari keseluruhan perkara di tahun 2021 dan 22 perkara atau setara dengan 18,8 persen masih dalam proses pemeriksaan," kata Anwar.
Ia mengatakan, rata-rata waktu penyelesaian perkara PUU dan SKLN berdasarkan jangka waktu penyelesaian pada 2021 adalah 2,97 bulan per perkara. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah pada Januari-April 2021, MK fokus menyelesaikan perkara Pilkada yang waktu penyelesaiannya dibatasi yaitu 45 hari kerja, sejak permohonan diregistrasi.
Karena itu, persidangan perkara PUU dan SKLN disesuaikan dengan penyelesaian perkara PHPKada. Hal ini mengacu ketentuan MK memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian undang-undang, setelah selesai memutus perkara perselisihan hasil pilkada serentak, yaitu pada bulan Mei hingga Desember 2021 atau dalam kurun waktu 8 bulan.
Kendati demikian, Anwar mengatakan, MK mampu menyelesaikan perkara PUU dan PHPKada dengan rata-rata waktu yang relatif singkat.
"Penting untuk diketahui, meskipun perkara PUU dan perkara SKLN tidak diatur secara limitasi jangka waktu penyelesaiannya, MK mengupayakan dengan sungguh-sungguh agar semua perkara dapat segera diselesaikan. Jangka waktu penyelesaian sebuah perkara tidak hanya bergantung pada MK semata melainkan bergantung pula pada para pihak yang berperkara," kata Anwar.