REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidikannya kasus dugaan korupsi pengelolaan dana Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Naker) besar kemungkinan bakal dihentikan. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejakgung), Supardi mengatakan, penyidikan kasus tersebut tak berhasil menemukan angka pasti kerugian negara.
“Saya sampaikan ya itu unrealized loss,” ujar Supardi, saat ditemui di Gedung Pidsus Kejakgung di Jakarta, Selasa (8/2), malam. Unrealized loss adalah istilah dalam kerugian negara yang masih dalam tahap potensi atau dugaan kerugian negara yang belum terjadi.
Supardi mengatakan, pihaknya sedang mengarah pada diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3). “Belum sih (dihentikan). Tetapi, arahnya ke sana (SP-3),” ujar Supardi.
Penyidikan kasus dugaan korupsi pengelolaan BPJS Naker dimulai sejak Januari 2021. Ratusan saksi sudah diperiksa tim di Jampidsus untuk pengungkapan kasus tersebut. Termasuk memeriksa para mantan direksi dan pegawai di BPJS Naker.
Tim penyidikan di Jampidsus juga memeriksa sejumlah pengelola perbankan, manajemen investasi (MI), juga para pengusaha. Akan tetapi, sampai hari ini kasus tersebut tak ada kelanjutan.
Ali Mukartono, saat masih menjabat sebagai Jampidsus, pernah menyampaikan di Komisi III DPR bahwa kasus itu diduga merugikan negara sekitar Rp 22 triliun. Akan tetapi, dari dugaan kerugian negara tersebut, belum terungkap ada atau tidaknya dugaan tindak pidana. Supardi akhir tahun lalu pernah menyampaikan, nasib kasus BPJS Naker akan ditentukan pada Januari 2022.