Jumat 04 Feb 2022 06:35 WIB

ILUNI FHUI Beri Masukan Publik untuk RUU TPKS

RUU TPKS sebaiknya fokus pada jaminan perlindungan terhadap korban.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Indira Rezkisari
Anggota DPR Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari membacakan laporan pandangan fraksi saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/1/2022). DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi RUU usulan inisiatif DPR RI. Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Anggota DPR Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari membacakan laporan pandangan fraksi saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/1/2022). DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi RUU usulan inisiatif DPR RI. Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -— Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FH UI) mendorong agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan. Di samping itu, ILUNI FH UI merekomendasikan beberapa hal untuk RUU TPKS agar bisa mengedepankan perlindungan dan kepentingan korban kekerasan seksual.

Ketua ILUNI FHUI, Rapin Mudiardjo, menyatakan dalam RUU TPKS perlu ada mekanisme hukum acara, serta perlindungan bagi korban yang dapat menjangkau UU lain. UU tersebut harus bisa menjamin hak korban yang komprehensif, sekalipun penanganan kasusnya menggunakan UU lain.

Baca Juga

“RUU TPKS sebaiknya fokus pada upaya-upaya yang dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap korban, misalnya dalam hal mekanisme pemberian rumah aman, konseling psikologi, fasilitas kesehatan, dan akses bantuan hukum yang layak bagi korban,” ujar Rapin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/2/2022).

Di samping itu, Rapin mengatakan, ILUNI FHUI menilai RUU TPKS perlu menjamin mekanisme perlindungan terhadap korban yang seringkali mendapatkan pelaporan balik baik oleh pelaku dan/atau keluarga pelaku kekerasan seksual. Sehingga nantinya para korban kekerasan seksual tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata ketika memperjuangkan hak hukumnya.

Mekanisme ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya juga perlu diatur dalam RUU TPKS. Rapin menuturkan, ganti rugi yang diberikan dari pelaku atau pihak ketiga (restitusi) dapat membantu proses rehabilitasi korban, dengan melakukan sita eksekusi dalam perkara perdata terhadap aset pelaku kekerasan seksual.

“RUU TPKS juga perlu mengatur mengenai mekanisme proses pelaksanaan hukum acara tindak pidana kekerasan seksual yang mengedepankan perlindungan korban agar tidak kembali menjadi korban tindak kejahatan (re-viktimisasi), antara lain dengan pemanfaatan perekaman elektronik,” ujarnya.

Dalam RUU tersebut, kata dia, perlu ada aturan mekanisme proses yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pencegahan kekerasan seksual. Serta ada pendampingan berbasis masyarakat, agar dapat diperkuat dan diberikan peningkatan kapasitas untuk mendampingi korban.

Termasuk juga, kata dia, aturan mengenai mekanisme pelaporan, monitoring, dan evaluasi terhadap pelaksanaan RUU TPKS di berbagai tingkatan pemerintah. “Pembahasan RUU TPKS perlu melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam penyusunannya untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi pembahasan RUU TPKS oleh DPR dan pemerintah,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement