REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) berencana untuk menyita 12 perusahaan milik Grup Johan Darsono (JD). Upaya hukum tersebut, dilakukan Kejaksaan Agung (Kejakgung) untuk dapat mengembalikan kerugian negara terkait dugaan korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Perusahaan-perusahaan swasta itu, dari hasil penyidikan terungkap diduga menilap uang LPEI senilai Rp 2,1 triliun, dari total kerugian negara mencapai Rp 2,6 triliun. Direktur Penyidikan Jampidsus, Supardi mengatakan, penyidikan kasus dugaan korupsi LPEI masih terus berjalan. Meskipun belum ada pelimpahan perkara, tetapi proses pemeriksaan saksi-saksi terkait keterlibatan para tersangka, maupun peran perusahaan, terus akan didalami.
Terutama kata dia, terhadap 12 perusahaan yang berada dalam naungan Grup JD. “Dari 12 korporasi itu, belum kita periksa keseluruhan. Akan segera kita periksa seluruhnya,” ujar Supardi saat ditemui di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejakgung, Jakarta, Rabu (2/2/2022).
Kata Supardi, dari 12 perusahaan Grup JD yang turut menilap uang dari LPEI, senilai Rp 2,1 triliun, belum ada satupun yang mengembalikan. Namun, kata dia, dari penyelidikan berjalan, sudah ada beberapa yang resmi disita untuk mengganti kerugian negara.
“Belum ada yang mengembalikan uangnya. Tetapi, beberapa sudah sita. Dan akan kita sita perusahaan-perusahaannya,” ujar Supardi.
Ia menambahkan penyidikan dugaan korupsi yang dilakukan oleh timnya, saat ini memang memfokuskan pada Grup JD sebagai pihak yang diduga paling merugikan negara dalam kasus LPEI tersebut. Dalam penyidikan dugaan korupsi di LPEI, Jampidsus sudah menetapkan total tujuh orang tersangka. Tersangka awalan, pada Kamis (6/1) menetapkan lima orang tersangka. Yakni Josef Agus Susanta (JAS), Suyono (S), Arif Setiawan (AS), Ferry Sjaifullah (FS), dan Johan Darsono (JD).
AS tersangka selaku Direktur Pelaksana IV, dan Komite Kelayakan LPEI 2016. FS tersangka selaku Kepala Divisi Pembiyaan UKM LPEI 2015-2018. JAS, tersangka selaku Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) LPEI Surakarta 2016. Adapun JD, tersangka selaku Direktur PT Mount Dreams Indonesia (MDI). JD ditetapkan tersangka selaku Direktur PT Jasa Mulia Indonesia (JMI), PT Mulia Walet Indonesia (MWI) dan PT Borneo Walet Indonesia (BWI).
Pada Kamis (13/1), Jampidsus kembali menetapkan dua orang tersangka. Yakni, PSNM selaku mantan Relationship Manager LPEI 2010-2014 yang juga eks Kepala Departemen Pembiayaan UKM LPEI 2014-2018. DSD ditetapkan tersangka selaku mantan Kepala Divisi Analisa Risiko Bisnis II LPEI 2015-2019.
Hasil penyidikan mengatakan berawal dari masalah LPEI yang memberikan pembiayaan kepada para debitur untuk penyelanggaran ekspor nasional kurun pembukuan 2013-2019. Para debitur tersebut, yakni delapan grup usaha, yang terdiri dari 27 unit perusahaan swasta. Pada Grup Walet, nilai pembiyaan dari LPEI setotal Rp 576 miliar.
Pembiyaan tersebut diberikan kepada CV Mulia Walet Indonesia senilai Rp 90 miliar. Lalu pembiyaan tersebut diambil alih oleh PT Mulia Walet Indonesia dengan pembekakan pembiyaan mencapai Rp 175 miliar. Dari Grup Walet juga, PT Jasa Mulia Indonesia memperoleh pembiyaan Rp 276 miliar. Sedangkan pembiyaan kepada PT Borneo Walet Indonesia senilai Rp 125 miliar.
Adapun kepada Grup Johan Darsono, fasilitas pembiyaan ekspor nasional diberikan senilai total Rp 2,1 triliun. Pembiayaan diberikan kepada 12 perusahaan. PT Kemilau Kemas Timur mencapatkan pembiyaan Rp 200 miliar. CV Abaya Giri Timur menerima Rp 15 miliar. CV Multi Mandala menerima Rp 15 miliar. CV Prima Garuda memperoleh Rp 15 miliar. CV Inti Makmur juga mendapatkan pembiyaan Rp 15 miliar.
Masih dari Grup Johan Darsono, PT Permata Sinita Kemasindo mendapatkan pembiyaan LPEI senilai Rp 200 miliar. PT Summit Papper Indonesia mendapatkan Rp 199,6 miliar. PT Elite Paper Indonesia menerima pembiyaan Rp 200 miliar. PT Everbliss Packaging Indonesia, memperoleh pembiayaan Rp 200 miliar. PT Mount Dream Indonesia mendapatkan pembiayaan 645 miliar. PT Gunung Geliat mendapatkan pembiayaan senilai 30 juta dolar AS atau setara Rp 345 miliar. Dan terakhir PT Kertas Basuki Rahmat, menerima 45 juta dolar AS atau Rp 460 miliar.
Namun dikatakan, dari semua pemberian fasilitas pembiayaan tersebut sejak prosesnya sudah cacat prosedur. “Pemberian pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI kepada para debitur tersebut dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dan tidak sesuai dengan aturan kebijakan di LPEI, sehingga berdampak pada kerugian negara,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjutak, Kamis (13/1).
Pemberian pembiyaan tersebut, pun berdampak pada peningkatan nilai kredit macet pengembalian dari para debitur ke kas LPEI. Sehingga pada laporan pembukuan LPEI 2019, menunjukkan angka kredit macet senilai 4,7 triliun tahun berjalan. “Dari perhitungan sementara oleh penyidik terkait kasus ini, kerugian negara kurang lebih Rp 2,6 triliun,” tegas Ebenezer.