REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Energi Literasi dari Rumah (ELdR) adalah kegiatan bulanan dari forum TBM (Taman Baca Masyarakat), yang hadir ketika pandemi Covid-19 mulai masuk Indonesia. Kegiatan ini sebagai respons dari forum TBM untuk terus bergerak budayakan literasi meski dari rumah.
ELdR kali ini mengangkat isu terhadap perundungan, kekerasan seksual, serta intoleransi yang terjadi pada anak dan remaja di lingkungan pendidikan. “Isu dalam diskusi ini sangat penting untuk dibicarakan, karena bersentuhan dengan garakan literasi yang kami lakukan,” tutur Opik Ketua TBM dalam pembukaan ELdR, beberapa waktu lalu.
Lanjutnya, ia menjelaskan, beberapa bulan terakhir ini dihebohkan oleh kekerasan seksual, perundungan yang terjadi di lingkungan Pendidikan.
“TBM yang setiap hari bersentuhan dengan anak-anak, remaja, orang tua dalam urusan literasi, harus betul-betul memahami, mengetahui bagaimana bentuk perundungan. Kemudian apa saja indikasi perundungan itu, sampai upaya pencegahannya bahkan bagaimana cara penyembuhan dari perundungan tersebut,” pungkasnya.
Apabila dulu perundungan hanya terjadi dalam bentuk fisik dan verbal, hari ini perundungan dengan media digital yang beredar hingga ke desa-desa. Itu menjadi kekhawatiran tersendiri jika dibiarkan.
Narasumber ELdR yang bertajuk “Kekerasan, Terjadi dan Terjadi Lagi” adalah Ian Lapoh M.R. Simarmata, sebagai koordinator tim anti perundungan Kemdikbud Ristek.
Dalam diskusi ini, Ian membahas mengenai perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi yang terjadi di dunia Pendidikan.
Ian membuka paparan materinya dengan menampilkan video yang berdurasi kurang lebih 5 menit tentang presiden Joko Widodo yang memberikan intruksi, mengenai pentingnya ideologi Pancasila.
“Kekuatan media sosial melalui internet sangat cepat menginternalisasi generasi muda. Baik dari sisi positif maupun dari sisi negatif,” ucap Ian Selasa (25/1).
Selain itu, generasi milenial menghabiskan waktu bermain internet sebanyak 8 jam 52 menit seharinya. Sementara data statistik sensus penduduk dari 270,20 juta jiwa penduduk Indonesia, 48% nya adalah anak muda. Bayangkan, betapa banyaknya anak muda yang mengandalkan asupan informasinya dari internet. Apalagi kasus perundungan yang terjadi banyak menimpa usia remaja.
“Perundungan banyak terjadi pada remaja kisaran usia 13–17 tahun. Sebanyak 40% pelajar di Indonesia berusia 15 tahun, pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan,” ujarnya.
Ian juga menambahkan, untuk tahun 2022 khusunya, mengenai penanggulangan perundungan difokuskan pada jenjang SMP, SMA, dan SMK.
“Sedangkan informasi mengenai perundungan yang disebar di media, baik infografis, poster, foto, video dan lainnya, menyasar semua jenjang pendidikan. Mulai dari PAUD hingga jenjang perguruan tinggi,” katanya.
Akar dari permasalahan perundungan ada dua. Pertama untuk perundungan mikro (kecil), mencakup kurangnya pengetahuan atas bentuk-bentuk dan dampak perundungan, kurangnya keterlibatan orang tua dalam mengurangi dan mengatasi perundungan. Bahkan, masih banyak tradisi dan budaya yang membenarkan bullying di sekolah seperti ospek.
“Kemudian dari segi makro, ketidaktahuan atas Permendikbud 82 tahun 2015, kurikulum BK belum mencakup isu perundungan dan guru BK yang relatif masih kurang. Selain itu, mayoritas kasus perundungan tidak dilaporkan serta tidak adanya survei nasional serta database untuk memantau kasus perundungan,” jelasnya.
Ian mengemukakan, secara umum, ada 4 bentuk utama perundungan. Pertama perundungan verbal, dengan bentuk ucapan atau menuliskan sesuatu kepada korban yang sifatnya memalukan atau merendahkan.
“Kemudian yang kedua ada perundungan sosial atau rasional. Dimana hal-hal yang bisa merusak reputasi atau hubungan seseorang di lingkungan sosial tertentu. Lalu ketiga, ada perundungan fisik, ini jelas, tindakan yang dilakukan dengan menyakiti korban secara fisik,” paparnya.
Lanjutnya, yang terakhir adalah perundungan daring (cyberbullying), penggunaan media sosial, pesan singkat, email, atau media digital untuk merendahkan atau mengucilkan seseorang.
Sementara itu, Kepala Kampus Universitas BSI kampus Margonda, Taat Kuspriyono mengatakan, kegiatan Energi Literasi dari Rumah (ELdR) sangat menarik untuk diikuti.
Tak hanya akan menambah wawasan dan pengetahuan peserta, namun juga dapat mengajak para generasi muda dan para pendidik, serta masyarakat agar dapat menghindari terjadinya perundungan dan aksi negatif yang dapat merugikan individu.
“Sebagai pendidik, mari kita bersama-sama tetap berkolaborasi dan terus bergerak dengan menanamkan budi pekerti yang luhur untuk para anak didik. Untuk aset masa depan bangsa Indonesia,” tandas Taat, Selasa (25/1).