REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI - Di era ketika kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) mampu menulis skripsi lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk membuat secangkir kopi, pertanyaan utama yang muncul bukan lagi “Bisakah kita menggunakan AI?”, melainkan “Apakah kita memahami apa yang sedang kita gunakan?”
Perkembangan AI kini menjadi sorotan. AI mampu membantu berbagai aktivitas, mulai dari merapikan laporan, merancang desain presentasi, hingga menjadi teman berbincang di tengah malam ketika hidup terasa membingungkan.
Namun, di balik berbagai kemudahan tersebut, muncul tantangan besar yakni bagaimana memastikan agar penggunaan AI tidak membuat manusia kehilangan kemampuan berpikir kritis dan nilai-nilai kemanusiaannya?
Di sinilah konsep AI Governance berperan penting. Meskipun istilah ini terdengar kompleks dan birokratis, pada dasarnya AI Governance berarti memastikan penggunaan kecerdasan buatan dilakukan secara transparan, adil, dan bertanggung jawab. Dengan kata lain, agar pengguna tidak sekadar mengambil hasil kerja AI tanpa pemahaman, atau bahkan membuat keputusan penting berdasarkan data yang bias tanpa menyadarinya.
Di Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Bekasi, prinsip tersebut tidak hanya menjadi teori yang disampaikan dalam ruang kuliah. Sebagai Kampus Digital Kreatif, UBSI mendorong mahasiswa untuk memahami bahwa AI dapat membantu meningkatkan efisiensi, namun tetap diperlukan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijaga.
Sebagai contoh, dalam penggunaan AI untuk membantu penulisan laporan atau pengolahan data, para dosen selalu menekankan pentingnya melakukan verifikasi ulang terhadap hasil kerja AI. Hal ini bukan karena ketidakpercayaan terhadap teknologi, namun karena tanggung jawab akademik tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mesin. AI dapat menjadi alat bantu berpikir, namun etika dan tanggung jawab tetap berada di tangan manusia.
Kepala Kampus UBSI Bekasi, Ahmad Fauzi, menjelaskan kampus secara rutin menyelenggarakan diskusi dan kelas tematik mengenai etika teknologi. Dalam forum tersebut, mahasiswa diajak untuk berdiskusi secara terbuka dan kritis mengenai berbagai isu, seperti apakah AI layak disebut sebagai penulis, atau bagaimana dampak bias algoritma terhadap keadilan sosial.
Melalui kegiatan ini, mahasiswa belajar bahwa literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, melainkan juga pemahaman terhadap konsekuensi dan nilai etis di balik penggunaannya.
“UBSI kampus Bekasi memang dikenal sebagai kampus digital kreatif, tapi yang menarik bukan sekadar digitalnya, melainkan cara menjaga sisi manusianya. Kampus percaya bahwa masa depan teknologi nggak bisa lepas dari nilai-nilai kemanusiaan,” ungkapnya.
Bagi generasi muda berusia 16–25 tahun yang hidupnya begitu dekat dengan layar dan teknologi AI, pemahaman tentang AI Governance bukan hanya pengetahuan tambahan, melainkan kompas moral di tengah derasnya arus algoritma. Sebab, ketika manusia berhenti berpikir kritis dan hanya menjadi pengguna pasif, maka kendali dunia dapat beralih ke mesin yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Dengan demikian, meskipun AI semakin cerdas, tanggung jawab tetap berada di tangan kita. Jika AI mampu menulis dengan sempurna namun tanpa empati, maka menjadi tugas manusia untuk tetap menulis dengan hati.