REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bareskrim Polri menerima penundaan pemeriksaan terhadap pegiat politik di media sosial (medsos) Edy Mulyadi. Namun, tim penyidikan Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Siber Mabes Polri akan menjemput paksa terlapor ujaran kebencian tersebut, jika menolak hadir pada pemanggilan kedua, pekan depan. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal (Brigjen) Ahmad Ramadhan mengatakan, tim penyidikan sudah kembali melayangkan surat pemanggilan kedua.
Ramadhan menerangkan, surat pemanggilan kedua itu, dilayangkan pada Jumat (28/1/2022). “Tim penyidik menerbitkan surat panggilan kedua terhadap saudara EM. Dan disertai surat perintah membawa untuk hadir pada pemeriksaan tersebut,” ujar Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (28/1).
Pemanggilan kedua tersebut, meminta agar Edy, datang ke Dirtipid Siber Bareskrim Mabes Polri, pada Senin (31/1) mendatang untuk diperiksa terkait ujaran kebencian.
“Jadi surat panggilan kedua, langsung diantar ke rumah, dan yang menerima adalah istri beliau (Edy). Dan ditunjukkan dengan surat perintah membawa. Jadi nanti hari Senin (31/1), kalau seandainya yang bersangkutan tidak hadir, maka kita jemput untuk dibawa ke Mabes Polri,” ujar Ramadhan.
Ia menambahkan, proses hukum terkait ujaran kebencian yang diduga dilakukan oleh Edy, masih tetap berjalan. Pada Jumat (28/1), tim penyidik kembali melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi tambahan.
“Kami sampaikan, bahwa sampai hari ini, pemeriksaan terhadap saksi-saksi sudah 43 orang,” terang Ramadhan.
Perincian saksi-saksi tersebut, ia terangkan, adalah 35 saksi, dan delapan orang ahli. Para saksi tersebut termasuk para pelapor. Sedangkan para ahli, tim penyidik meminta penjelasan dari para pakar bahasa, sosiologi, pun hukum pidana, serta ahli ITE. Namun, tim penyidik belum melakukan pemeriksaan terhadap Edy, sebagai terlapor, maupun saksi terlapor.
Bareskrim Polri, sebelumnya merencanakan untuk memeriksa Edy, pada Jumat (28/1/2022). Surat pemanggilan terhadap eks calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, sudah dilayangkan sejak Kamis (27/1). Akan tetapi, pada Jumat (28/1/2022), Edy tak datang. Tim kuasa hukumnya, meminta penjadwalan ulang. Penagcara Edy, Herman Kadir pun mengatakan, surat pemanggilan itu, salah prosedur.
Karena menurut Herman, pemanggilan untuk proses hukum, semestinya dilayangkan tiga hari sebelum jadwal pemeriksaan. “Artinya ini (pemanggilan untuk diperiksa) sudah tidak sesuai dengan KUHP. Dan ini, yang kami sampaikan ke penyidik lewat pemberitahuan ini,” ujar Herman di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat (28/1/2022).
Kasus yang menyeret Edy ini, berawal dari komentar terbuka tentang penolakan pemindahan ibu kota negara, dari Jakarta, ke Kalimantan Timur (Kaltim). Edy, dalam video yang tersebar di medsos mengucapkan kalimat-kalimat penolakan yang dinilai menghina masyarakat di Kalimantan.
Alasan Edy Mulyadi Soal Arti ‘Jin Buang Anak’.#edymulyadi #kalimantan #ikn #ibukotanegara pic.twitter.com/dd0IxsMkUl
— Republika.co.id (@republikaonline) January 25, 2022
Edy menyebut wilayah ibu kota baru tersebut, sebagai daerah yang tak layak dihuni oleh kalangan manusia, dengan menyebut daerah ibu kota baru, sebagai tempat ‘jin buang anak’. Edy juga menyebut wilayah ibu kota baru itu, sebagai pasar yang dihuni makhluk-makhluk gaib.
“Kalau pasarnya kuntilanak, genderuwo, ngapain ngebangun di sana (Kalimantan),” kata Edy.
Atas ucapannya itu, masyarakat adat di Kalimantan melayangkan protes, dan ultimatum terbuka. Bahkan melakukan pelaporan tindak pidana ke kepolisian di sejumlah daerah, pun di Jakarta.
Pelaporan tersebut, karena menilai Edy melakukan penghinaan terhadap masyarakat di Kalimantan. Terkait pelaporan terhadap EM, ada sejumlah tiga pelaporan yang dilakukan, 16 pengaduan, dan 18 pernyataan sikap dari berbagai elemen yang menolak pernyataan Edy.
Pengacara Herman Kadir mengatakan, Edy tak bisa hadir karena adanya alasan hukum. “Tidak bisa hadir hari ini. Karena ada halangan,” ujar Herman di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat.
Menurut Herman, meskipun Edy tak dapat hadir untuk diperiksa sebagai terlapor, Edy kata dia, mengirimkan surat ke penyidik terkait penundaan, dan penjadwalan ulang pemeriksaan.
“Jadi, kami hari ini datang (ke Bareskrim), hanya untuk mengantarkan surat agar pemeriksaan dapat ditunda,” uajr Herman.
Herman menerangkan alasan hukum mengapa Edy memilih tak memenuhi panggilan pemeriksaan tersebut. Menurut dia, pilihan tersebut karena terkait dengan prosedur hukum formal.
Edy, kata Herman keberatan dengan pemanggilan tersebut, karena surat dari Bareskrim Polri, baru sampai pada Kamis (27/1). Menurut Herman, mekanisme pemanggilan untuk pemeriksaan, semestinya tiga hari setelah surat datang dari penyidik.
“Artinya ini (pemanggilan untuk diperiksa) sudah tidak sesuai dengan KUHP. Dan ini, yang kami sampaikan ke penyidik lewat pemberitahuan ini,” ujar Herman.
Meskipun begitu, kata Herman, kliennya bukan memilih untuk mangkir, dan melawan proses hukum. Melainkan kata dia, agar proses hukum, juga berjalan sesuai dengan aturan. “Nanti, dari sini (Bareskrim) dipanggil ulang. Dan kita akan sesuai prosedur,” ujar Herman.