REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan politikus PDIP Arteria Dahlan yang meminta Kajati memakai bahasa Sunda dicopot menuai kecaman. Dari mulai Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hingga budayawan menyayangkan pernyataan itu. Ridwan Kamil secara khusus bahkan meminta Arteria untuk meminta maaf.
"Jadi saya mengimbau Pak Arteria Dahlan sebaiknya meminta maaf ya kepada masyarakat Sunda di nusantara ini, tapi kalau tidak dilakukan pasti akan bereskalasi karena sebenarnya orang Sunda itu pemaaf ya, jadi saya berharap itu dilakukan," ujar Ridwan Kamil dalam siaran persnya Selasa (18/1/2022).
Menurut Emil, ada dua jenis masyarakat dalam melihat perbedaan. Pertama, ada yang melihat perbedaan itu sebagai kekayaan atau sebagai rahmat. Ia berharap mayoritas warga melihat perbedaan dengan cara ini. Kelompok kedua, katanya, ada yang melihat perbedaan sebagai sumber kebencian dan itu yang harus dilawan.
"Jadi saya menyesalkan statement dari Pak Arteria Dahlan terkait masalah bahasa ya, yang ada ratusan tahun atau ribuan tahun, menjadi kekayaan nusantara ini," katanya.
Emil mengatakan jika Arteria tidak nyaman dengan penggunaan bahasa Sunda, tinggal disampaikan secara sederhana. Tapi kalau bentuknya meminta untuk diberhentikan jabatan, menurutnya terlalu berlebihan.
Pengamat budaya dan juga dosen di Departemen Pendidikan Bahasa Sunda dan Prodi Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Chye Retty Isnendes menilai pernyataan Arteria bisa menyinggung orang Sunda.
Sebenarnya, kata ia, untuk menganalisis masalah ini memang membutuhkan data dan konteks yang jelas. Pertama, secara bernegara hal itu sudah menyimpang dari Undang-undang Dasar 1945, tentang bahasa Pasal 32. Dalam pasal itu sebut pada ayat satu bahwa negara menjamin berbudaya di antaranya. "Yang kedua (ayat dua) negara menghormati menggunakan bahasa daerah dan nanti ada penjelasannya di situ, bahwa bahasa-bahasa yang dipakai, dihormati dan dijunjung itu tanggung jawab pemerintah," kata dia ketika berbincang dengan Republika.co.id, Selasa (18/1/2022).
Ia juga mengingatkan, bahasa daerah dan bahasa Indonesia tidak dapat dipisahkan dalam komunikasi masyarakat. "Yang kedua, dalam tatanan nasional, kita kan bukan eka bahasawan, kita itu sudah dwi bahasawan, bahwa bahasa Indonesia dan daerah seperti keping uang yang tidak bisa dipisahkan," ujarnya.
Anggota DPR Dedi Mulyadi mengatakan, penggunaan bahasa Sunda dalam kegiatan rapat adalah hal yang wajar dan tak perlu dipermasalahkan. "Wajar saja dilakukan selama yang diajak rapat, yang diajak diskusi mengerti bahasa daerah yang digunakan sebagai media dialog pada waktu itu," kata Dedi dalam sambungan telepon, di Purwakarta, Selasa (18/1/2022).
Ia menyampaikan itu terkait pernyataan Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan yang meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin mengganti seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) yang rapat menggunakan bahasa Sunda. Dedi Mulyadi yang juga dikenal sebagai tokoh Sunda turut menegaskan kalau penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan rapat adalah sesuatu yang wajar.
Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mengkritisi pernyataan Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan yang meminta agar Jaksa Agung ST Burhanuddin memecat seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) hanya karena berbicara bahasa Sunda saat rapat. Hasanuddin menilai pernyataan anggota Komisi III DPR RI itu terlalu berlebihan.
Baca juga : Wagub Jabar Siap Kerahkan Kiai dan Santri Jika Arteria tak Minta Maaf
"Usulan saudara Arteria yang meminta agar jaksa Agung memecat seorang Kajati karena menggunakan bahasa Sunda, menurut hemat saya berlebihan dan dapat melukai perasaan masyarakat Sunda," kata Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/1/2022).
Ia mengatakan, seseorang yang dipecat dari jabatan biasanya karena yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran pidana berat atau kejahatan yang memalukan. "Pernyataan saudara Arteria ini seolah-olah mengindikasikan bahwa menggunakan bahasa daerah (Sunda) dianggap telah melakukan kejahatan berat dan harus dipecat," kata anggota DPR dari daerah pemilihan (Dapil) IX Jabar tersebut.