Kamis 06 Jan 2022 14:44 WIB

Pemerintah Belum Cermat Rumuskan Kebijakan Keamanan Papua

Kesatuan memilih nomenklatur penting dalam menentukan arah kebijakan.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Ratna Puspita
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, para pembuat kebijakan di Jakarta belum sepenuhnya memperhatikan asas kecermatan dalam merumuskan arah kebijakan keamanan untuk Papua. Ia menyebut, implikasi yang terjadi tidak hanya menimbulkan kebingungan di kalangan pejabat negara, tetapi juga mengorbankan masyarakat dan aparat pelaksana di lapangan.

“Lihat saja arah kebijakan dan hukum terkait kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang dituduh melakukan kekerasan terhadap warga masyarakat dan aparat keamanan. Contoh terbaru, penembakan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Brigjen I Gusti Danya Nugraha pada April lalu,” kata Usman dalam keterangannya, Rabu (5/1/2022).

Baca Juga

Ia mengatakan, pemerintah dalam hal ini Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menetapkan KKB sebagai teroris. Hal ini berdasarkan definisi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.

Akibatnya, apa yang dilakukan oleh KKB dan segala organisasinya serta orang-orang yang terafiliasi dalam kelompok tersebut adalah Tindakan teroris. Sementara baru-baru ini, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman menyatakan Satgas TNI AD yang bertugas di Papua tidak boleh menganggap KKB sebagai musuh.

“Kesatuan sikap dan kecermatan memilih nomenklatur sangat penting bagi petinggi negara dalam menentukan arah hukum dan kebijakan,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, Kementerian Luar Negeri RI (KBRI) di Jerman merupakan pihak pertama yang mengusulkan penetapan Organisasi Papua Merdeka (OPM) ke dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT). Hal ini, jelas dia, ia mengatakan melalui Berita Rahasia KBRI di Berlin pada 7 Februari 2021 atau jauh sebelum terjadinya insiden penembakan Kabinda Papua. 

Usman menuturkan, usulan tersebut berasal dari pemikiran tentang adanya kesamaan elemen tindak pidana terorisme dari Uni Eropa dan Republik Indonesia. “Tindakan OPM dianggap memiliki kemiripan dengan tindakan organisasi terorisme di sana (Uni Eropa),” kata dia.

“Mereka ingin memutus dukungan internasional, termasuk dukungan dana terhadap OPM, dengan cara mengupayakan agar organisasi tersebut masuk ke dalam daftar teroris di UE dan juga PBB. Usulan tersebut dibahas secara internal oleh beberapa kementeriandan lembaga,” ujarnya.

Baca juga: Diancam Ferdinand karena Lapor ke Bareskrim, Haris: Nyawa Saya Pertaruhkan

Namun, Usman mengatakan, saat secara resmi diumumkan, pemerintah justru menggunakan nomenklatur atau istilah KKB, bukan OPM. Padahal, dia mengatakan, usulan KBRI jelas ditujukan kepada OPM.

Usman pun menyampaikan, OPM dan KKB merupakan dua istilah yang memiliki arti dan implikasi pemberlakuan hukum serta kebijakan yang berbeda. Ia menjelaskan, OPM adalah nama dari organisasi yang menyuarakan tuntutan kemerdekaan Papua. 

Lalu, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) adalah bagian bersenjata dari organisasi ini yang mengklaim bertanggungjawab atas penembakan Kabinda Papua. Sementara itu, sambung dia, KKB adalah nomenklatur dari jajaran pemerintah untuk menamakan sebuah kelompok tak bisa dikenali yang menggunakan senjata dalam tindak kriminal mereka. 

Instansi lain, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), memakai istilah kelompok separatis bersenjata (KSB) dan beberapa petinggi militer di Papua. Bahkan, menggunakan istilah kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB).

Dia menilai, ketidakselarasan pilihan nomenklatur tersebut menjadi cerminan kurang hati-hatinya pemerintah dalam menentukan arah kebijakan. “Separatisme OPM dan TPNPB bertujuan memisahkan diri dari negara, sedangkan UU Nomor 5 Tahun 2018 adalah tindak pidana yang bertujuan menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas di masyarakat,” tutur dia.

“Ketika pemerintah menyematkan status ‘organisasi teroris’ pada kelompok yang dinamakan oleh pemerintah sendiri sebagai KKB, KSB, atau KKSB, sebenarnya sama seperti menyematkan label pada suatu organisasi yang sebenarnya tidak ada. Sebab, memang tidak ada organisasi di Papua yang menggunakan nama tersebut,” tambahnya.

Di samping itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) masih enggan mengomentari terkait informasi yang menyebutkan bahwa (KBRI) di Jerman merupakan pihak pertama yang mengusulkan penetapan OPM ke dalam DTTOT. “Tidak bisa saya mengkonfirmasi dan juga pejabat yang menangani Jerman (perwakilan RI di Jerman) untuk informasi yang bersifat rahasia,” kata Juru Bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah saat dihubungi, Rabu.

Baca juga: Jenderal Andika Tunjuk Mayjen Untung Budiharto Jadi Pangdam Jaya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement