REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, memandang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen perlu dihapus. Burhanuddin menilai tingginya presidential threshold berpotensi memunculkan calon tunggal.
"Karena threshold terlalu tinggi maka terjadi fenomena kemungkinan munculnya calon presiden tunggal juga sangat besar, jadi partai cenderung berkoalisi ketimbang berkompetisi," kata Burhanuddin dalam acara diskusi yang digelar secara daring, Rabu (5/1).
Dirinya menilai Kemunculan calon tunggal justru bertentangan dengan alam demokrasi. Dalam berdemokrasi, manusia harusnya melawan manusia bukan melawan kotak kosong.
"Jadi kalau threshold terlalu tinggi, sangat mungkin seorang capres itu mengakumulasi dukungan dari partai-partai dan partai-partai enggan untuk memunculkan kadernya maju dalam pilpres. Dan itu yang dirugikan adalah pemilih," ujarnya.
Selain berpotensi memunculkan calon tunggal, Burhanuddin juga menilai imbas dari tingginya presidential adalah hilangnya kesempatan untuk memunculkan capres alternatif. Terakhir presidential threshold yang terlalu tinggi juga bakal berpotensi memunculkan polarisasi politik.
"Kalau terjadi dua pengkutuban mau tidak mau ada sumber daya primordial yang dimaksimalkan oleh kedua calon. Tapi polarisasi politik ini juga tetep muncul meskipun capresnya lebih dari dua. Sepanjang masih ada sistem dua putaran seperti yang diamanatkan konstitusi kita," ungkapnya.