Jumat 31 Dec 2021 17:30 WIB

Menata Ulang Organisasi Kepemudaan Kita, Refleksi Akhir Tahun 2021

Bonus demografi usia produktif merupakan peluang bagi organisasi kepemudaan

Bonus demografi usia produktif merupakan peluang bagi organisasi kepemudaan. Pemuda (ilustrasi)
Foto:

Oleh : Raihan Ariatama, Ketua Umum PB HMI Periode 2021-2023

Pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia menjadikan peran teknologi semakin vital. Di tengah keharusan untuk menghindari kerumunan, melakukan physical distancing, dan membatasi mobilitas agar memutus mata rantai penyebaran virus, semua aktivitas dialihkan ke ruang digital, di mana teknologi menjadi tumpuan utamanya.

Penetrasi teknologi ke segala sendi kehidupan selama pandemi mengubah pola perilaku dan interaksi manusia. Kerja-kerja kebudayaan, sosial, dan politik termasuk kerja-kerja organisasi, dilakukan di ruang digital, atau setidaknya dilakukan secara hybrid. Kita mengenal digital nomad, di mana seseorang dapat bekerja tidak harus di kantor, melainkan di pelbagai tempat, bahkan lintas negara. Sehingga, ruang digital menjadi arena kontestasi baru yang membuka pelbagai kemungkinan-kemungkinan di masa yang akan datang.    

Melihat tantangan bonus demografi, Visi Indonesia Emas 2045 dan disrupsi di segala lini kehidupan akibat penetrasi teknologi, bagaimana organisasi kepemudaan seharusnya menempatkan peran dan kontribusinya dan apakah organisasi kepemudaan sudah memiliki prasyarat untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut?

Dilema

Saya mengamati dan mengalami bahwa organisasi kepemudaan masih kebingungan dalam menentukan arah gerak di tengah arus perubahan yang cepat. Kebingungan tersebut disebabkan oleh mengakarnya kultur-kultur lama. Organisasi kepemudaan masih menjadi echo chamber yang sibuk dengan konflik-konflik internal, sehingga perubahan yang sedang berlangsung menjadi tidak terdengar. Konflik internal pun lebih banyak didominasi oleh konflik politik daripada konflik ide untuk menyikapi perubahan dan menatap masa depan.

Sehingga, misalnya, beberapa organisasi kepemudaan mengalami perpecahan kepengurusan akibat tensi konflik politik yang tinggi. Hal ini bukan berarti konflik politik harus dihilangkan –dan menurut saya mustahil terjadi—melainkan ditransformasikan ke dalam konflik ide yang konstruktif untuk menjawab tantangan zaman.

Kultur lama lain yang masih mengakar di dalam organisasi kepemudaan adalah jenjang ‘birokrasi’ yang panjang, hirarkis, dan sangat bernuansa politis. Padahal, revolusi industri 4.0 dengan segala kecanggihan teknologi memberikan short cut bagi setiap orang untuk mencapai tujuan dengan melewati langkah-langkah konvensional.

Kreativitas dan inovasi menjadi lokomotif yang menggerakkan era digital saat ini, yang dalam konteks organisasi kepemudaan terhambat akibat batasan-batasan ‘birokratis’. Akibatnya, ruang publik diisi oleh generasi muda yang memiliki kreativitas dan inovasi dengan produk socio-preneur dan start up-nya, bukan dengan jenjang ‘karir birokrasi’ di organisasi kepemudaan. Proporsi staff milenial kepresidenan adalah salah satu bukti nyata, di mana kreativitas dan inovasi mendatangkan pengaruh politik sekaligus.

Dengan kondisi organisasi kepemudaan yang demikian, menurut saya masih sulit bagi organisasi kepemudaan untuk memulai perubahan demi menjawab tantangan zaman. Dalam konteks global saja, negara kalah pengaruh dari perusahaan teknologi, apalagi organisasi kepemudaan.

Sulit bukan berarti tidak bisa. Kita masih memiliki peluang dengan short cut yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi. Untuk itu, persoalan-persoalan yang sedang terjadi dalam organisasi kepemudaan tersebut harus menjadi bahan evaluasi dan refleksi kita di pengujung 2021 ini. Saya menawarkan beberapa pokok pemikiran untuk pembenahan organisasi kepemudaan kita ke depannya.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement