Ahad 26 Dec 2021 00:37 WIB

Pakar: Presidential Threshold Bisa Diubah Bila Ganggu Demokrasi

Ambang batas pencalonan presiden 20 persen digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bersiap memimpin sidang putusan uji Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945, di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta,Kamis (25/11). (Ilustrasi)
Foto: Prayogi/Republika.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bersiap memimpin sidang putusan uji Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945, di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta,Kamis (25/11). (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar tata negara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani, angkat bicara soal judicial review ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, uji materi itu bisa dikabulkan MK dengan argumentasi mengganggu demokrasi.

Ismail menyampaikan presidential threshold merupakan ketentuan yang

Baca Juga

sifatnya terbuka diserahkan ke lembaga pembentuk Undang-undang. DPR dan Presiden sah menentukan format presidential threshold. Namun DPR dan Presiden patut mempertimbangkan kesehatan demokrasi.

"Apakah dengan adanya presidential threshold ini kesehatan demokrasi bisa terwujud atau tidak, karena itulah yang diatur dalam konstitusi," kata Ismail kepada Republika.co.id, Sabtu (25/12).

Ismail menyarankan pemohon menyertakan dalil terganggunya demokasi dalam uji materil presidential threshold. Dalil ini patut diperkuat dengan penelitian. "Kalau disimpulkan dari berbagai studi presidential threshold 20 persen membawa mudharat atau ganggu kesehatan demokrasi maka tentu sah untuk dipersoalkan," ujar Ismail.

Ismail juga menyarankan debat soal presidential threshold harus berada dalam koridor yang tepat alias bukan di ruang publik. "Pandangan MK sebelumnya anggap presidential threshold mungkin penting untuk kesehatan demokrasi. Nah debat inilah yang harus objektif," lanjut Ismail

Selain itu, Ismail menilai presidential threshold merupakan ijtihad politik Parlemen dan Presiden dengan menakar kualitas demokrasi. "Kalau berpihak pada penguatan demokrasi maka presidential threshold bisa dihapuskan karena narasi menguat soal presidential threshold timbulkan oligarki politik yang merusak demokrasi. Maka pilihan idealnya tanpa presidential threshold," ucap Ismail.

Ismail merekomendasikan DPR dan Presiden cermat menindaklanjuti bila uji materil presidential threshold dikabulkan MK. "Kalau takut terlalu banyak calon, polarisasi, kebingungan memilih, tinggal diatur mekanismenya mau berapa presidential threshold-nya atau nol persen dengan mitigasi rrsiko. Silakan dikreasikan pembentuk UU dan Presiden. Lalu nantinya secara teknis akan dijalankan KPU," tutur Ismail.

Diketahui, dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bustami Zainuddin dan Fachrul Razi mengajukan judicial review PT dalam UU Pemilu ke MK pada Jumat (10/12). Keduanya yang didampingi pengacara Refly Harun ingin ambang batas pencalonan presiden menjadi nol persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement