REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Memasuki dasarian II Desember 2021, realisasi tanam pada musim tanam rendeng 2021/2022 di Kabupaten Indramayu masih minim. Selain terkendala suplai air, minimnya realisasi tanam saat ini juga dipengaruhi adat desa.
"Realisasi tanam baru sekitar 30 persen, masih minim. Tapi sekarang sudah mulai terasa ada penambahan setiap harinya," ujar Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Indramayu, Sutatang, kepada Republika.
Sutatang mengatakan, minimnya realisasi tanam rendeng itu salah satunya disebabkan terkendalanya suplai air irigasi. Namun, saat ini pasokan air sudah datang dan ditambah dengan hujan yang intensitasnya kini mulai meningkat.
Hamparan sawah yang tadinya belum dapat suplai air, sekarang sudah bisa tanam karena adanya hujan," terang Sutatang.
Selain air, lanjut Sutatang, keterlambatan tanam juga diakibatkan adat desa yang belum terlaksana. Akibatnya, para petani memilih menunda pelaksanaan tanam, sebelum adat desa, seperti sedekah bumi, dilaksanakan di desanya masing-masing.
"Petani belum mau memulai tanam sebelum adat desa dilaksanakan. Itu sudah menjadi tradisi," cetus Sutatang.
Terpisah, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu, Takmid, menyebutkan, target tanam rendeng 2021/2022 di Kabupaten Indramayu mencapai 130 ribu hektare. Dari jumlah itu, yang sudah terealisasi baru sekitar 3 ribu hektare. "Ya masih minim," kata Takmid.
Takmid menjelaskan, penyebab keterlambatan tanam itu di antaranya karena faktor suplai air. Menurutnya, irigasi yang bersumber dari Bendung Rentang sebelumnya memasuki masa pengeringan pada 1-30 Oktober 2021. Begitu pula untuk pengairan yang bersumber dari Waduk Jatiluhur.
Bahkan, untuk pengairan di Cipelang sebelah kiri, masa pengeringannya berlangsung selama 1,5 bulan, yakni 1 Oktober-15 November 2021. Jadi, air baru mengalir pada 16 November 2021. Setelah itu, dibutuhkan waktu sekitar satu minggu perjalanan air hingga sampai ke areal persawahan petani di Indramayu.
"Selain itu, adat desa juga sangat mempengaruhi (terjadinya keterlambatan tanam)," tukas Takmid.
Takmid mengatakan, melalui para penyuluh lapangan, pihaknya sebenarnya sudah mengimbau kepada para kepala desa yang memiliki adat desa, agar segera melaksanakannya. Namun, tidak semua desa mematuhi imbauan itu.
Takmid menyebutkan, ancaman yang dihadapi petani di musim tanam rendeng ini salah satunya adalah banjir. Dia berharap, banjir besar seperti tahun lalu tidak terulang kembali.
Sedangkan untuk ancaman organisme pengganggu tanaman (OPT), Takmid mengatakan, salah satunya adalah tikus. Namun, para petani sudah melakukan langkah antisipasi dengan mengadakan gropyokan.
Sementara itu, Sutatang menambahkan, kendala yang dihadapi petani dalam pelaksanaan tanam rendeng saat ini adalah sulitnya memperoleh buruh tanam. Akibat pelaksanaan tanam yang kini mulai serentak, buruh tanam menjadi rebutan.
"Upah buruh tanam pun jadi naik," cetus Sutatang.
Sutatang menjelaskan, untuk proses tanam di lahan sawah, petani biasanya mengeluarkan biaya upah buruh tanam sebanyak Rp 1,2 juta per bau (1 bau = 0,75 hektare). Namun akibat berebut buruh tanam, upahnya naik menjadi Rp 1,4 juta bau.
Untuk penanaman di lahan seluas satu bau itu, biasanya digarap oleh 10–15 orang buruh tanam. Proses penanaman itu selesai dalam waktu setengah hari (pagi sampai siang).
Sutatang memperkirakan, dengan pelaksanaan tanam yang kini mulai meningkat, maka realisasi tanam rendeng pada akhir Desember 2021 nanti sudah sekitar 60 persen dari target tanam. Dia pun berharap, tanaman itu bisa terhindar dari ancaman banjir.