Senin 20 Dec 2021 14:26 WIB

Hari Bela Negara dan Refleksi Perjuangan-Pemikiran Sjafruddin Prawiranegara

Sjafruddin Prawiranegara adalah tokoh generasi awal pembuka wawasan ekonomi Islam.

Sjafruddin Prawiranegara, Sang Penyelamat Republik.
Foto:

Oleh : M. Fuad Nasar, Sekretaris Direktorat Jenderal Bimas Islam

Membuka Wawasan Ekonomi Islam

Sjafruddin Prawiranegara adalah tokoh generasi awal pembuka wawasan ekonomi Islam. Ia menulis tentang ekonomi Islam jauh sebelum lahirnya gerakan ekonomi syariah dan bank syariah di Indonesia. Semasa hidupnya Sjafruddin banyak menulis artikel seputar ekonomi dan moneter semenjak Indonesia merdeka, masa peralihan dan masa pembangunan Orde Baru.

Sepanjang hidupnya ia membela negara dengan pemikiran dan perbuatannya. Sjafruddin mengatakan kalau ia sering mengkritik pemerintah, ia melakukannya dengan didasari kasih sayang.

“Saya tidak menyimpan rasa benci sedikit pun terhadap Presiden Soeharto maupun terhadap Laksamana Soedomo atau terhadap para pejabat yang lain.” ujarnya dalam biografi Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT.   

Dalam buku Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (Jakarta: CV Haji Masagung, 1988), Sjafruddin menulis bahwa salah satu penyebab timbulnya kekacauan sosial dan semakin lebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan miskin di dunia ini adalah karena agama dipisahkan dari ekonomi. Padahal ekonomi tidak boleh dijauhkan dari ajaran-ajaran agama.

Islam, lanjut Sjafruddin, mengajarkan bahwa dalam usaha kita mencari nafkah untuk keperluan hidup, kita sekali-kali tidak boleh melupakan kewajiban terhadap sesama manusia, khususnya terhadap orang-orang yang miskin dan lemah. Lebih jauh diungkapkannya, dalam Islam, pasar dan perdagangan harus bebas dari unsur kecurangan, spekulasi, monopoli dan keuntungan yang melampaui batas.

Di awal Orde Baru, Sjafruddin dalam tulisannya Membangun Kembali Ekonomi Indonesia (1966) mengingatkan pemerintah Orde Baru waktu itu jangan terlalu terpukau dengan peranan dan kontribusi modal asing dalam pembangunan, yang sampai mengakibatkan pemerintah kurang melindungi modal dan tenaga “manusia Indonesia” yang benar-benar turut berpartisipasi dalam usaha pembangunan bangsanya. Mengutamakan modal sudah terang berlawanan dengan Pancasila, yang mengutamakan manusia tanpa melupakan kebutuhan-kebutuhan materiilnya, ujarnya.

Ia berpendapat bahwa hanya masyarakat yang berdasarkan hukum yang bisa makmur. Jika hukum dan keadilan lenyap, kemakmuran akan lenyap pula. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement