Senin 20 Dec 2021 14:26 WIB

Hari Bela Negara dan Refleksi Perjuangan-Pemikiran Sjafruddin Prawiranegara

Sjafruddin Prawiranegara adalah tokoh generasi awal pembuka wawasan ekonomi Islam.

Sjafruddin Prawiranegara, Sang Penyelamat Republik.
Foto:

Oleh : M. Fuad Nasar, Sekretaris Direktorat Jenderal Bimas Islam

PDRI Menyelamatkan Republik Indonesia

PDRI menyelamatkan Republik Indonesia dan menentukan keberlangsungan negara proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam sidang kabinet yang sempat diadakan beberapa jam sebelum meninggalkan Yogyakarta tanggal 19 Agustus 1948, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan mandat melalui surat kawat (telegram) kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi.

Surat kawat itu memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, Presiden dan Wakil Presiden menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatra.

Surat kawat Presiden Soekarno tidak pernah sampai ke tangan Sjafruddin. Menurut keterangan Sjafruddin, sebelum diketahui adanya telegram Presiden dan Wakil Presiden, PDRI telah dibentuk di Halaban, Selatan Payakumbuh, di daerah perkebunan teh, pada 22 Desember 1948.

Pembentukan PDRI sebelumnya dibicarakan pada 19 Desember 1948 dalam pertemuan Mr. Sjafruddin Prawiranegara dengan Mr T.M. Hasan (Gubernur Sumatera, Komisariat Pemerintah Pusat) di Bukittinggi. Sedangkan penyusunan PDRI secara lengkap dilakukan di Koto Tinggi. PDRI dibentuk untuk menyelamatkan eksistensi negara Republik Indonesia.

Sjafruddin memimpin roda administrasi pemerintahan melalui PDRI dari hutan dan bergerilya dari satu nagari (desa) ke nagari lainnya di wilayah Minangkabau. Pemerintahan darurat berlangsung dari 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949. Dedikasi para pemimpin PDRI menyatu dengan bantuan masyarakat setempat. Mohammad Hatta menyebut Ketua PDRI sebagai Presiden Darurat. Dalam buku Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang-Perunding (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) Sjafrudin mengatakan PDRI pada saat itu adalah satu-satunya Pemerintah yang sah.

Lukman Harun dalam artikelnya “Hari-Hari Terakhir PDRI” pada buku  Pak Natsir 80 Tahun, Buku Pertama, Pandangan dan Penilaian Generasi Muda (Jakarta: Media Dakwah, 1988) menuturkan kesaksiannya dalam rapat umum di lapangan sepak bola Koto Kaciek Kewedanaan Suliki tanggal 7 Juli 1949. Rapat umum dihadiri tidak kurang dari 5.000 orang.

Saat itu berpidato Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Dr. J. Leimena, Mohammad Natsir, dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Sjafruddin mengatakan, “Kalau akan hancur lebih baik sama-sama, kalau akan tenggelam sama-sama, tetapi saya yakin kalau bersama-sama kita tidak akan tenggelam. Waktu mendirikan PDRI kita bukan untuk merebut pangkat dan kursi karena kita sering duduk di atas lantai. Tetapi oleh karena perbuatan kita ini didasarkan atas kejujuran pada rakyat dan pada Tuhan, tokoh kita selamat sampai esok atau lusa kita akan menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Soekarno-Hatta kembali.”

Dalam epilog PDRI, setelah Yogya kembali, Sjafruddin datang sendiri ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat PDRI kepada Presiden Soekarno dalam sidang kabinet yang dipimpin oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 13 Juli 1949. Hari itu Yogyakarta kembali ke dalam wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia sesuai hasil perundingan utusan Indonesia Mr Mohamad Roem yang ditunjuk Soekarno dari tempat pembuangan meski tanpa sepengetahuan PDRI. Perundingan atau perjanjian antara Republik Indonesia dan Belanda itu dikenal sebagai Roem - Roijen Statement tanggal 7 Mei 1949.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement