Senin 20 Dec 2021 09:13 WIB

Soal PT, Pakar: Ketua KPK Bicara Sesuatu yang Bukan Tugasnya

Firli mengatakan, PT merupakan salah satu faktor pendorong hasrat korupsi.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari (kiri) berbincang bersama Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz saat memberikan keterangan pers.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari (kiri) berbincang bersama Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz saat memberikan keterangan pers.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari angkat bicara terkait pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terkait Presidential Threshold (PT) atau ambang batas parlemen. Menurutnya, pimpinan lembaga antirasuah itu telah berbicara tentang sesuatu yang bukan tugasnya.

"Pernyataan ketua KPK menunjukan, dia sangat politis dan itu tidak etik bagi pimpinan KPK," kata Feri Amsari di Jakarta, Ahad (19/12).

Baca Juga

Dia menduga, Komisaris Jenderal Polisi itu tidak mengerti perbedaan presidential threshold, presidential candidacy threshold, dan parliamentary threshold. Dia menantang mantan deputi penindakan KPK itu untuk menjelaskan apa itu ambang batas dalam pemilu.

"Terus sekalian tanya apa beda CAT (Computer Assisted Test) penyelenggara pemilu dan TWK pegawai KPK," katanya.

Seperti diketahui, Firli Bahuri menjelaskan alasan dikemukakannya PT 0 Persen. Menurutnya, PT merupakan salah satu faktor pendorong hasrat korupsi yang membabi buta bagi seluruh pejabat politik.

"Pendapat saya terkait PT 0 persen adalah semata-mata untuk tujuan penanganan potensi dan pemberantasan korupsi yang maksimal karena itulah konsentrasi KPK," kata Firli Bahuri.

Mantan deputi penindakan KPK itu mengungkapkan, PT menjadi perhatian lembaga antirasuah setelah mengkaji penyebab korupsi kepala daerah. Dia mengatakan, KPK menyerap informasi dan keluhan langsung dari legislatif dan eksekutif daerah yang mengeluhkan mahalnya biaya pilkada sehingga membutuhkan modal besar.

Firli mengatakan, modal besar tersebut sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi "balik modal". Dia mengungkapkan, fakta data KPK terakhir mendapati 82,3 persen calon kepala daerah menyatakan adanya donator dalam pendanaan pilkada mereka sehingga ditemukan banyak bentuk balas budi pada para penyumbang.

Dia mengatakan, sebesar 95,4 persen balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan. Atau 90,7 persen dari mereka meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan dalam hal pengadaan barang dan jasa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement