REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Generasi Z dan milenial mayoritas jarang/tidak pernah menerima link berita/video di Whatsapp ataupun Facebook, yang memuat informasi politik, kritik pemerintah, bencana alam/kecelakaan, kekerasan, dan lain-lain. Kalaupun menerima, mereka hanya membaca/menonton jika tertarik, bahkan hanya membaca judulnya.
Hal ini merupakan hasil temuan survei yang dilakukan Indopol. Menurut Direktur Eksekutif Indopol Survey Ratno Sulistiyanto, sebanyak 42,32 persen responden Gen Z dan milenial mengaku jarang menerima informasi politik, tidak pernah (24,8 persen), tidak tahu (10,83 persen). Sementara yang menjawab sering hanya (22,05 persen).
Kalaupun mendapatkan link, mereka yang selalu membaca hanya 10,63 persen. Mayoritas responden yang membaca/menonton hanya jika tertarik (21,85 persen), membaca judulnya saja (13,78 persen), membandingkan dengan sumber lain (3,94 persen), mengirim link ke orang lain setelah menonton (3,94 persen), mengirim ke orang lain jika judulnya menarik (2,76 persen), menegur pengirim jika hoaks (1,18 persen), dan tidak menjawab (41,93 persen).
Adapun media online yang sering dikutip sebagai sumber informasi oleh Gen Z dan milenial adalah Detik.com (16,34 persen), Kompas.com (15,16 persen), CNN Indonesia (6,5 persen), Viva News (1,57 persen), Republika.co,id (0,79 persen), media lainnya (4,13 persen), sisanya tidak menjawab. “Hasil pembacaan mereka menentukan pilihan politik mereka,” kata Ratno, dalam siaran persnya.
Survei ini dilakukan dengan responden berjumlah 1.230 berusia 17 tahun ke atas di 34 provinsi. Wawancara dilakukan dengan tatap muka, dan margin error kurang lebih 2,8 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Ratno mengatakan, generasi Z dan milenial bakal jadi kunci kemenangan dalam Pemilu 2024. Merujuk hasil sensus penduduk 2020, populasi Gen Z mencapai 74,9 juta atau 27,7 persen dari total 270,2 juta penduduk. Sementara generasi milenial berjumlah 69,4 juta atau sekitar 25,9 persen dari total penduduk.
Berdasarkan kategori BPS, Gen Z meliputi mereka yang lahir antara 1997-2012, sementara milenial adalah generasi yang lahir 1981-1996, “Mereka menjadi kunci kemenangan, tapi partai politik dan capres-cawapres harus bekerja keras karena literasi dan edukasi politik yang rendah menjadi tantangan tersendiri untuk meraup suara mereka,” kata Ratno.
Dalam survei ini juga ditanya tentang perilaku generasi Z dan milenial terhadap politik uang. Mereka yang mengatakan tidak menerima dan tdak akan memilih calon pemimpinnya sebanyak 21,85 persen, menerima tapi memilih calon lain (14,96 persen), tidak menerima uang tapi memilih calon pemimpinnya (12,01 persen), menerima uang dan memilih calon pemimpinnya (9,84 persen), tidak menerima uang tapi akan memilih calon lain yang sudah memberi (3,54 persen), tidak menjawab (37,8 persen).
Mengenai calon pemimpin yang pas, dalam pertanyaan semiterbuka responden menjawab: Prabowo masih (15,75 persen), Ganjar Pranowo (14,37 persen), Anies Baswedan (13,58 persen). Sisanya calon lain, seperti Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Erick Thohir Sandiaga Uno, Habib Rizieq, Puan Maharani, dll.
Co-founder Ruang Demokrasi Ludhy Cahyana mengatakan, para milenial yang diduga sebagian besar adalah “kaum rebahan” di sisi lain memiliki kelompok-kelompok yang haus informasi. “Mereka yang haus informasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik. Mereka sebagaimana milenial dan generasi Z lainnya merasa kurang terwakili dalam demokrasi,” ujarnya.