Jumat 17 Dec 2021 14:34 WIB

Sri Mulyani: UU HPP Berpihak pada Rakyat Ekonomi Rendah

Menkeu mengatakan UU HPP berpihak pada rakyat ekonomi rendah.

Rep: Novita Intan/ Red: Bayu Hermawan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan UU HPP berpihak pada rakyat ekonomi rendah. (foto: ilustrasi)
Foto: istimewa
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan UU HPP berpihak pada rakyat ekonomi rendah. (foto: ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyatakan undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan (UU HPP) berpihak kepada masyarakat. Adapun aturan ini khususnya ditujukkan bagi kelompok-kelompok yang tidak mampu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan UU HPP dinilai membebani masyarakat. Padahal UU HPP justru utamanya berpihak bagi mereka dengan ekonomi rendah.

Baca Juga

"Padahal di dalam harmonisasi ini banyak sekali pemihakan kepada rakyat, terutama pada kelompok tidak mampu, UMKM, tidak mungkin DPR komisi XI akan biarkan pemerintah buatkan policy yang akan membebani masyarakat," ujarnya saat webinar Sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Jumat (17/12).

Menurutnya sejumlah manfaat dari UU HPP yang belum lama disahkan DPR. Maka begitu, artinya semua alokasi hasil pajak ini jelas dikembalikan kepada masyarakat.

"Kalau bagian pertama saya sampaikan manfaatnya, jelas, kita bangun jalan, air bersih sekolah akses kesehatan membantu masyarakat yang kesusahan. Apalagi kalau kita sebut sekarang musim Desember Januari, bencana alam itu semuanya menggunakan penerimaan pajak. Jadi asas manfaatnya sangat jelas," jelasnya.

Di samping itu, Sri Mulyani menjelaskan sejak pandemi Covid-19 pada awal 2020 hingga saat ini APBN bekerja keras dan mengalami defisit. Adapun kondisi ini memang diizinkan selama masa kedaruratan, tapi tak bisa selamanya dilakukan. Sebab, jika tidak, maka APBN malah akan menjadi masalah di depan.

"Karena kita dalam situasi tertekan kita bisa defisitnya ditingkatkan, namun tidak boleh terus-menerus dalam kemudian bisa menimbulkan krisis ekonomi. Kita sudah melihat banyak negara yang mengalami hal tersebut. Kita tidak ingin Indonesia dalam posisi sesudah menangani Covid-19, menstabilkan sosial dan ekonomi kemudian APBN menjadi sumber masalah," jelasnya.

Sri Mulyani memastikan, pemerintah akan mendahulukan pemulihan masyarakat dari sisi kesehatan, sosial dan ekonomi. Namun perlu ada penyelamatan pada kinerja APBN.

"Penyehatan APBN dilakukan secara terukur dan bertahap. Tentu tujuannya masyarakat pulih dulu, ekonomi kuat lagi dan kemudian APBN menjadi sehat kembali. Maka itu, DPR dengan pemerintah mendesain sebuah reformasi perpajakan yang tertuang dalam UU HPP," ucapnya.

Dalam postur APBN 2022, pemerintah menganggarkan belanja negara sebesar Rp 2.714 ,2 triliun, dengan pendapatan negara Rp 1.846,1 triliun. Defisit dan pembiayaan anggaran sebesar Rp 868,o triliun atau 4,85 persen dari PDB.

"APBN yang bekerja luar biasa keras selama 2020 2021 dan tahun depan perlu untuk dijaga kesehatannya. Belanja yang mencapai Rp 2.750 (triliun) sekitar itu akan terus dijaga untuk bisa membiayai program penting bagi rakyat, kesehatan, bansos, bantuan UMKM dan belanja lain," katanya.

Ke depan pemerintah berupaya melakukan sosialisasi undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan (UU HPP) ke berbagai wilayah. Adapun UU HPP dibentuk bersama antara pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, Komisi XI DPR.

"Kalau kita bicara pajak, masyarakat langsung merasa ini beban ini, padahal di dalam harmonisasi ini banyak sekali pemihakan kepada rakyat terutama kelompok tidak mampu, UMKM. Enggak mungkin DPR Komisi XI membiarkan pemerintah policy yang membebani masyarakat," ujarnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement