REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak ada ketentuan presidential threshold pada hasil amendemen UUD 1945. Pada Pasal 6A Ayat 2 amendemen ketiga UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa 'Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum'.
"Jadi, jelas dan tegas tak ada ketentuan tentang presidential threshold," kata Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, saat dikonfirmasi Republika, Rabu (15/12).
Karena itu, Kamhar menghormati langkah hukum yang ditempuh oleh mantan panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo melalui kuasa hukumnya yang mengajukan judicial review terhadap ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dia memahami, jika pasal yang mengatur tentang ketentuan presidential threshold dianggap tidak sesuai dengan UUD Negara Republik indonesia 1945 dan hasil amendemennya.
Kamhar memandang, aspirasi tersebut berkaca dari pengalaman Pilpres 2014 dan 2019 lalu yang hanya menghadirkan dua pasang calon yang berimbas pembelahan di masyarakat. Akibatnya, biaya sosial, ekonomi, dan politik yang ditanggung bangsa justru jauh lebih besar.
"Ini kontraproduktif dengan ikhtiar konsolidasi demokrasi yang hendak dituju," ujarnya.
Menurut Kamhar, rakyat berhak mendapatkan banyak pilihan calon presiden dan wakil presiden pada pilpres. Dia menilai, presidential threshold selama ini justru membatasi tampilnya putra dan putri terbaik bangsa di panggung kepemimpinan nasional.
Baca juga : Aipda Rudi Terancam Kurungan 21 Hari Penjara
"Tak hanya membatasi pilihan rakyat, ini juga bertentangan dengan fungsi partai politik dalam hal rekrutmen kepemimpinan nasional," ujarnya.
Karena itu, Kamhar menegaskan, Partai Demokrat menghargai dan sependapat dengan pemikiran-pemikiran bahwa presidential threshold ini mesti ditinjau kembali. Bagi setiap partai politik yang telah memenuhi ketentuan dan berhak menjadi peserta pemilu, bisa mengusung pasangan capres dan cawapres, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk koalisi.
"Itu menjadi hak dan berpulang pada kepentingan strategis masing-masing partai politik," katanya.