Selasa 14 Dec 2021 00:25 WIB

Rachel Vennya tak Dipenjara Meski Bersalah, Ini Kata Pengamat

MA bisa membuat kebijakan pada jajarannya bahwa pelanggaran ringan tak usah ditahan.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati / Red: Agus Yulianto
Terdakwa kasus pelanggaran prokes kekarantinaan kesehatan Rachel Vennya (keempat kanan) dan Salim Nauderer (kedua kanan) menjalani sidang acara pidana singkat di Pengadilan Negeri Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (10/12/2021). Majelis hakim memvonis selebgram Rachel Vennya dengan hukuman empat bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan dan denda sebesar Rp50 juta karena terbukti bersalah atas melakukan tindak pidana terkait karantina kesehatan.
Foto: Antara/Fauzan
Terdakwa kasus pelanggaran prokes kekarantinaan kesehatan Rachel Vennya (keempat kanan) dan Salim Nauderer (kedua kanan) menjalani sidang acara pidana singkat di Pengadilan Negeri Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (10/12/2021). Majelis hakim memvonis selebgram Rachel Vennya dengan hukuman empat bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan dan denda sebesar Rp50 juta karena terbukti bersalah atas melakukan tindak pidana terkait karantina kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dan peneliti senior Institut Peradaban Umar Husein amgkat bicara mengenai kasus selebgram Rachel Vennya yang tidak masuk penjara meski dinyatakan bersalah. Umar menilai, itu memungkinkan terjadi dari sisi teori hukum.

"Kalau dari sisi teori hukum, dimungkinkan putusan percobaan yang tidak masik penjara seperti itu. Tidak ada perintah masuk penjara," ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (13/12).

Dia mengatakan, hakim memiliki kewenangan untuk menjatuhkan percobaan pidana. Jadi, kata dia, dimungkinkan adanya percobaan. Namun, bila melakukan tindakan pidana lagi baru dimasukkan ke penjara. 

Meski demikia, jika diinjau dari sisi keadilan maka itu sangat subyektif. "Kita tidak tahu nantinya hakim ke depannya seperti bagaimana. Apakah putusan kasus seperti ini juga dikenakan pada orang lain. Apakah orang lain juga mendapatkan hukuman percobaan atau malah hukuman langsung masuk penjara," katanya.

Terkait Rachel Vennya disebut sopan dan memberikan keterangan tidak berbelit-belit, Umar menilai, ada kasus lain yang sama. Artinya pelaku memberikan keterangan tidak bertele-tele tetapi mendapatkan hukuman masuk penjara juga. Pria lulusan doktor Ilmu Hukum dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, ini menegaskan, hal ini yang mesti diklarifikasi. Idealnya, putusan hakim yang satu dengan yang lain tidak boleh bertentangan di kasus ini. 

"Karena mohon maaf ada orang masuk penjara dan dihukum bertahun-tahun karena masalah yang sama kan. Artinya, ada politik hukum yang berbeda, tidak boleh begitu," tegasnya.

Dia mengatakan, ini menjadi tugas Mahkamah Agung (MA) untuk membina jajarannya. Jangan sampai putusan yang lain, hukumannya berbeda dan jomplang. Dia mengusulkan, MA bisa membuat kebijakan pada jajarannya bahwa pelanggaran ringan tidak usah ditahan, cukup denda saja.  

Terkait putusan Rachel Vennya menjadi preseden buruk, Umar menilai, itu tergantung hakimnya. Yang jelas, putusan Rachel Vennya bisa sebagai pembelaan. Misalnya pada saat diperiksa, baik dibela pengacara atau sendiri bisa mengutip putusan Rachel Vennya. 

Sebab, dia mengingatkan, azas hukum pidana harus memilih hukuman yang teringan. Jadi, tak boleh yang terberat. 

"Jadi, kalau menurut saya, putusan ini tepat kalau diterapkan pada semua orang. Menjadi tidak tepat kalau hanya satu orang saja karena itu pidana ringan," ujarnya.

Dia mengibaratkan, pelanggaran Rachel sama seperti pelanggaran lalu lintas dan hukumannya berupa denda. Ia meminta, semua harus membiasakan hukuman non-fisik seperti denda hingga kerja sosial.

Lebih lanjut, Umar memberikan, rekomendasi MA hendaknya menstandarisasi jenis hukuman untuk tindak pidana sejenis dengan memberikan arahan kepada jajarannya.  "Jangan tebang pilih, kalau artis digituin (tak masuk penjara) tapi kalau dilakukan rakyat dipenjara," ujarnya.

Rekomendasi kedua, dia menilai, kasus pidana ringan tak perlu dipidana. Jadi, cukup didenda saja. Dia mencontohkan, di negara luar negeri, tindak pidana semacam ini mendapatkan denda seperti Swedia, Belanda kosong penjaranya, atau misalnya di Arab Saudi, ketika pelaku berbuat membunuh orang, keluarga korban bisa menentukan meminta ganti rugi kemudian kasus sudah selesai. 

Mengenai penjara untuk memberikan efek jera, dia menilai, itu tak terkait dengan urusan korban. "Misalnya akan diperkosa dan dihukum 5 tahun, kaitan dengan korban apa," ujarnya.

Karena bisa jadi, dia melanjutkan, korban lebih suka kalau pelaku bertanggung jawab. Atau misalnya, jika terjadi kecelakaan lalu lintas dan menyebabkan korban jiwa meninggal dunia, mungkin keluarga korban lebih suka dijamin untuk keluarga yang ditinggal. 

"Jadi, dimana-mana trennya mediasi. Di Indonesia ada sebenarnya tetapi tak tegas," katanya.

Sebelumnya, Rachel Vennya disebut menerima putusan terkait kasus kabur dari karantina.

Sang kekasih, Salim Nauderer serta manajer, Maulida Khairunnisa turut menyetujui putusan sidang. 

Ketua Majelis Hakim PN Tangerang, Arif Budi Cahyono, mengatakan, putusan sesuai dengan dakwaan. Hal ini disampaikan dalam video yang diunggah di YouTube KH Infotainment, Jumat (10/12). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Rachel Vennya empat bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan.

Rachel Vennya bersama kekasih dan manajer diwajibkan membayar denda masing-masing Rp 50 juta. Kemudian Rachel kembali menduduki trending topic Twitter. Hal itu dikarenakan Rachel Vennya tak dikenakan hukuman penjara dan hanya didenda karena kabur dari karantina. Alasan Rachel Vennya tak dipenjara karena ia disebut sopan dan kooperatif selama penyelidikan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement