Rabu 01 Dec 2021 18:39 WIB

Mengapa Status DKI Jakarta Jadi PPKM Level 2?

Capaian vaksinasi dan tracing DKI Jakarta di atas standar, BOR RS juga cuma 4 persen.

Kendaraan terjebak macet di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (29/11). Pada Selasa (30/11), pemerintah pusat mengumumkan status PPKM DKI Jakarta menjadi Level 2 setelah sebelumnya Level 1. (ilustrasi)
Foto:

Pengelola tempat warung makan seperti warung tegal (warteg) mengaku keberatan atas kenaikan status DKI Jakarta menjadi PPKM Level 2. Diketahui, makan di warteg dan restoran yang kembali dibatasi menjadi 60 menit.

“Kalau ini betul diberlakukan lagi, tentu memberatkan kami,” kata Syifa (24 tahun) yang mengelola Warteg Kharisma Bahari di daerah Pejaten Raya, Jakarta Selatan, Selasa (30/11).

Dalam PPKM Juli lalu, kata Syifa, saat pembatasan ketat diberlakukan, omset usahanya turun drastis. Menurutnya, penurunan omset bahkan mencapai 50 persen dari biasanya.

Meski merasa kecewa, Syifa mengaku harus tetap mengikuti aturan yang diberlakukan pemerintah dalam mengekang Covid-19. Terlebih, saat Juli lalu, dia mengaku hampir didenda oleh Satpol PP DKI Jakarta karena masih beroperasional saat waktu pembatasan malam hampir diberlakukan.

“Padahal waktu itu belum jam delapan, masih jam tujuhan, tapi sudah dimarahin disuruh tutup langsung, pelanggan juga diusir,” kenangnya.

Hal serupa juga dikatakan Heni (27) pengelola warteg di jalan Salihara, Jakarta Selatan. Menurut dia, pembatasan waktu makan bagi pelanggannya memang disayangkan, bukan hanya karena omset yang bisa menurun dengan pembeli yang berkurang akibat work from home, melainkan juga makan di tempat yang terbatas dan membuat pelanggan enggan untuk datang.

“Banyak juga yang akibatnya langsung pergi dan nggak enak diburu-buru katanya,” kata Heni.

Lebih jauh, pekerja swasta yang bekerja dan bermukim di Jakarta Selatan, Angga (24) mengaku memang kerap membeli makan di luar saat hendak bekerja. Menurut dia, keterbatasan waktu untuk menyiapkan makan di indekos menjadi pertimbangan membeli makan di luar.

Ditanya apakah pembatasan waktu makan di rumah makan mengganggunya, ia mengaku tak keberatan. Pasalnya, kata dia, waktu yang terbatas memang bisa dibiasakan untuk menyingkat waktu makan dan memanfaatkan sela-sela istirahat untuk keperluan lain.

“Tapi masalahnya jadi sering ngantre kalau beli begitu,” kata Angga.

Menurut dia, antrean memang bisa diakali dengan membungkus makan ke tempat kerja atau tempat tinggalnya. Namun demikian, hal itu akan semakin sulit ketika diburu waktu yang singkat antara kerja dan istirahat.

Lebih jauh, Ryan (28) mengatakan, pembatasan makan di tempat memang kadang membuatnya merasa tak nyaman. Alhasil, selain mengandalkan perpesanan makanan daring, Ryan kerap membawa makanannya pulang.

“Selama PPKM memang lebih nyaman di rumah,” jelasnya yang masih bekerja dengan sistem WFH.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement