Jumat 26 Nov 2021 08:12 WIB

SPKS Ajak KPK Awasi Program Pertanian Kelapa Sawit

Negara memungut pajak ekspor kepala sawit mencapai Rp 100 triliun.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Erik Purnama Putra
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (10/8/2021). Pengecatan tersebut dilakukan untuk memperbaiki logo KPK yang sempat rusak beberapa waktu lalu.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (10/8/2021). Pengecatan tersebut dilakukan untuk memperbaiki logo KPK yang sempat rusak beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) melakukan pengawasan program pertanian kelapa sawit yang digulirkan pemerintah. Dalam pengawasan itu, SPKS mengajak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi bersama pertanian sawit.

Sekjen SPKS, Mansuetus Darto, mengatakan, saat ini pewujudan program pemerintah untuk petani kelapa sawit di daerah sangat minim. Sehingga, ada kebijakan dan pengawasan yang harus dipertanyakan.

Baca Juga

“Kita mengajak KPK untuk memperhatikan dan memperkuat istitusi agar ada proses pencegahan aspek-aspek korupsi ke depan,” ucap Darto saat ditemui di Hotel Permata, Kelurahan Babakan, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (25/11).

Darto mengatakan, lembaga yang mengelola dana program kelapa sawit saat ini belum terlalu kuat. Pasalnya, badan pengawas program ini berasal dari staf menteri. Sedangkan, komite pengarah yang ada berasal dari beberapa menteri.

“Uang negara dipungut dari pajak ekspor kelapa sawit kurang lebih mencapai Rp 100 triliun. Jadi bagaimana anak buah mengawasi menteri-menterinya sementara dana ini besar sekali,” tuturnya.

Ditambah lagi, kata Darto, KPK sejak dulu selalu berkontribusi memperbaiki tata kelola sawit melalui pembenahan beberapa regulasi. Adapun saat ini, luas kebun sawit yang ada di Indonesia ada sekitar 16,3 juta hektare. Dari jumlah tersebut, sekitar 6,7 juta hektare di antaranya merupakan perkebunan rakyat.

Selain itu, lanjut dia, ada banyak masalah soal sawit dalam kawasan hutan. Darto menyebut, konflik itu mendorong para pemangku kepentingan untuk memperbaiki tata kelola sawit. Pihaknya pun memberikan legalitas lahan seperti Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) secara simbolik diberikan kepada petani kelapa sawit.

Saat ini, Darto mengaku, belum ada dukungan penuh dari badan pengelola dana perkebunan sawit untuk mempercepat penerbitan STDB atau pun pengurusan setifikat lahan milik para apetani. “Para petani sawit itu memang ada di alam kawasan hutan tapi tidak banyak, mestinya itu perlu ada pendataan secara menyeluruh sehingga bisa di identifikasi siapa yang dalam kawasan hutan dan siapa yang tidak,” ujarnya.

Di lokasi yang sama, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, menuturkan, sejak 2016 ada beberapa catatan KPK tentang sistem pengendalian perizinan yang lemah. Menurut Lili, dulu KPK memiliki Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).

Hanya saja, sambung dia, sementara ini belum bisa diaktifkan kembali, namun program cegah dan pengawasan masih tetap dilakukan. “Memang kita fokus bagaimana membuat kebijakan suatu peta, dan peta itu hanya untuk lima provinsi saja daintaranya Kalimantan Tengah, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat dan Papua,” kata Lili.

Dari situ, kata dia, KPK berharap bisa menyelesaikan masalah yang tumpang tindih, sebab ada orang di hutan antara kebun sawit dan tambang. Sehingga menjadi banyak kriminalisasi yang dilaporkan SPKS tentang bagaimana petani sawit menjadi tersangka dan dipaksa untuk keluar.

Terkait pajak, Lili menambahkan, banyak wajib pajak menurun dalam pembayaran pajak. Baik dari perorangan maupun badan-badan. “Dengan demikian tidak bisa hanya KPK saja yang melakukan monitoring, tetapi  peran serta masyarakat termasuk SPKS bisa menyampaikan lalu mengajak diskusi dan melakukan kajian apakah peraturan menteri (Permen) atau aturan itu bisa benar atau tidak," ucap Lili.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement