REPUBLIKA.CO.ID, BULELENG -- -Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng menetapkan Ketua Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Anturan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, Bali berinisial NAW menjadi tersangka kasus korupsi dana LPD senilai Rp 137 miliar. Hal itu berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-713/N.1.11/Fd.2/11/2021 tanggal 22 November 2021.
"Tim penyidik telah menetapkan satu orang tersangka dengan inisial NAW yang menjabat Ketua LPD Anturan," kata Kajari Buleleng I Putu Gede Astawa dalam siaran pers yang diterima di Denpasar, Selasa (23/11) malam.
Ia mengatakan, dari hasil perhitungan sementara tim penyidik Kejari Buleleng, diduga ada temuan selisih dana yang berindikasi merugikan keuangan negara sekitar Rp 137 miliar. Hingga saat ini, penyidik masih menunggu hasil perhitungan selisih dana tersebut dari pihak tim Inspektorat Daerah Buleleng.
Putu Gede menjelaskan, sejak tahun 2010 sampai saat ini, LPD Desa Adat Anturan menjalankan usaha simpan pinjam dan ada juga usaha tanah kaveling. LPD melakukan penerimaan pembayaran rekening listrik, air, telepon, pembayaran pajak, dan ekspansi penyaluran kredit sampai keluar wilayah Desa Pakraman berdasarkan hasil Pararem Pajuru Desa Pakraman Anturan.
Selanjutnya, tahun 2019, LPD Desa Adat Anturan memiliki aktiva berupa tanah kaveling senilai Rp 28.301.572.500 yang tersebar di 34 lokasi yang berbeda. "Tapi dalam aktiva lain-lain berupa tanah kaveling itu juga dimasukkan Dana Punia (Sukarela) senilai Rp 500 juta," katanya.
Dari jumlah kredit yang disalurkan pada tahun 2019 sebesar Rp 244.558.694.000, terdapat tunggakan bunga yang belum dibayar oleh nasabah sebesar Rp 12.293.521.600. Tunggakan itu lalu dijadikan kredit. "Saat itu tidak ada perjanjian kredit antara nasabah dengan pihak Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Anturan dan juga kredit yang tidak ada dokumen kreditnya (kredit fiktif) sebesar Rp 150.433.420.956," ujar Kajari.
Ia mengatakan, dalam pengelolaan LPD Desa Adat Anturan tahun 2019 terdapat selisih antara modal sebesar Rp 29.262.215.507,50 dan simpanan masyarakat Rp 253.981.825.542,00 dengan total aset Rp 146.175.646.344,00. Dikatakannya, usaha kaveling tanah LPD Desa Adat Anturan dikelola atau dilaksanakan oleh tersangka selaku Ketua LPD Desa Adat Anturan.
Lalu, dalam pengelolaan usaha kaveling tanah tersebut tidak memiliki tenaga pemasaran. Untuk pemasaran tanah kaveling tersebut menggunakan jasa perantara (makelar) dengan memberikan fee sebesar 5 persen dari hasil penjualan dan disimpan dalam rekening LPD.
Selanjutnya, hasil penjualan tanah kaveling tersebut ada yang dipergunakan untuk melakukan persembahyangan (Tirta Yatra), di antaranya ke Kalimantan sebesar Rp 500 juta, ke Lombok sekitar Rp 75 juta, ke Gunung Salak sekitar Rp 150 juta, dan di Bali sekitar Rp 50 juta.
Acara itu diikuti oleh semua karyawan dan perangkat desa adat beserta keluarga. Namun, penggunaan dana tersebut tidak dilaporkan oleh tersangka.
Tersangka NAW saat ini disangkakan melanggar ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8 dan Pasal 9 UU No 31 Tahun 1999 joncto UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Barang bukti berupa dokumen kredit LPD, mobil, 12 sertifikat tanah, dan laporan keuangan tahunan.