Rabu 24 Nov 2021 00:35 WIB

Jeda Kemanusiaan dan Dialog, Upaya Tangani Konflik di Papua

Panglima TNI telah menyiapkan sejumlah langkah terkait penanganan konflik di Papua.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Agus Yulianto
Baku tembak TNI dan teroris KKB Papua terjadi di Nduga Papua. Kontak tembak (ilustrasi)
Foto: anadolu agancy
Baku tembak TNI dan teroris KKB Papua terjadi di Nduga Papua. Kontak tembak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas menyarankan, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa harus mampu melakukan jeda kemanusiaan atau humanitarian pause dalam menyelesaikan konflik di Papua. Menurut Cahyo, hal tersebut merupakan salah satu solusi untuk menghadirkan Papua yang damai.

“Kalau dia memiliki niat baik untuk mewujudkan Papua damai, maka langkah yang perlu dilakukan adalah humanitarian pause, itu harus menjadi prioritas ya. Jeda kemanusiaan, penghentian tembak-menembak untuk tentara, kemudian pemberian akses terhadap warga sipil itu yang penting ya,” kata Cahyo saat dihubungi Republika, Selasa (23/11).

Cahyo menilai, upaya jeda kemanusiaan dapat menghentikan jatuhnya korban, baik dari pihak aparat-keamanan, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), maupun masyarakat sipil. Sebab, dia menyebut, upaya untuk menambah jumlah pasukan dalam menangani konflik di Papua bukanlah keputusan yang tepat. 

Dia menuturkan, solusi yang sepatutnya ditempuh adalah dengan melakukan dialog antara pihak yang berkonflik, yakni pemerintah dengan TPNPB-OPM. “OPM itu adalah bagian dari Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka adalah gerakan separatis, gerakan yang ingin merdeka. Solusinya bukan dengan mengirim tentara, tapi mengirim diplomat untuk berunding dengan mereka. Cara pandangnya harus seperti itu. Itu paradigma damai. Kalau dengan mengirim pasukan, itu bukan paradigma damai,” jelas dia.

TPNPB-OPM, lanjutnya, bukanlah teroris, tetapi mereka adalah kelompok yang ingin merdeka. Sehingga, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik, yaitu dengan mengirim juru runding dari pihak pemerintah untuk mendengarkan aspirasi dan keinginan dari kelompok tersebut.

“Perlu adanya dialog antara Jakarta dengan kelompok-kelompok yang ingin merdeka. Apakah yang di hutan, apakah yang di Inggris, di Amerika, di Jayapura, semua dilibatkan. Jadi paradigma damai itu, pendekatan dialog ya, mengakui aspirasi mereka, keberadaan mereka,” tutur Cahyo.

“Dulu Indonesia kan pernah berdialog dengan Gerakan Aceh Merdeka, mengapa sekarang tidak dilakukan dengan OPM?” imbuhnya.

Cahyo menyampaikan, jika dialog yang dilakukan belum menemukan kesepakatan bersama, maka upaya tersebut harus terus dilanjutkan hingga menemukan titik temu bagi kedua belah pihak. Dia mencontohkan, Fron Pembebasan Islam Moro (Moro Islamic Liberation Front/MILF) dengan Pemerintah Filipina bahkan sampai menempuh dialog negosiasi selama enam tahun.

“Kalau tahun ini (dialog) belum selesai, dilanjutkan tahun depan. Kalau enam tahun enggak selesai, ya kita perpanjang lagi sampai 10 tahun dengan catatan tidak ada darah tertumpah," katanya. 

Jadi dialog itu tidak membunuh siapapun, baik OPM, TNI maupun warga sipil. Tapi dialog mengangkat harkat dan martabat kedua belah pihak dan seluruh umat manusia. "Jadi kalau mau damai salah satu pendekatannya adalah dialog, bukan dengan mengirim pasukan,” ucapnya.

Selain itu, Cahyo mengatakan, Panglima TNI pun perlu mengevaluasi terhadap operasi penegakan hukum atau pendekatan militer di Papua. Evaluasi itu, sambung dia, mencakup sejauh mana efektivitas operasi penegakan hukum.

“Dia harus evaluasi operasi itu sejauh mana efektivitasnya, apakah labelisasi terorisme itu efektif, apakah operasi penegakan hukum itu efektif, maka dia harus mengevaluasi sejauh mana ini mencapai target. Apa indikator dari operasi penegakan hukum,” jelas Cahyo.

Kemudian, lanjutnya, Andika Perkasa juga harus meyakinkan sampai kapan operasi tersebut akan berlangsung serta apa saja batasan-batasan dalam pelaksanannya. Terakhir, Cahyo menambahkan, Panglima TNI pun harus memperhatikan mitigasi keselamatan warga sipil dalam operasi itu.

“Bagaimana melindungi warga sipil, bagaimana memberi akses kepada pengungsi, itu juga harus diperhatikan. Bagaimana menyelamatkan warga sipil yang masih terjebak di dalam pengungsian. Itu dalam jangka pendek ya," katanya. 

"Pendataan, identifikasi, dan mitigasi soal pengungsi itu harus dilakukan dengan bekerjasama dengan masyarakat dan mungkin gereja (setempat),” tambahnya.

 

photo
Polda Papua sebut KKB Bakar SD, Puskesmas dn Pasar Kiwirok di Pegunungan Bintang - (Polda Papua)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement