REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan upah minimum yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan baru dan lebih tinggi berpotensi menghambat perluasan kesempatan kerja, memicu pemutusan hubungan kerja dan mendorong relokasi industri ke wilayah dengan upah lebih rendah. "Apabila ditetapkan lebih tinggi dari ketentuan akan berpotensi terhambatnya perluasan kesempatan kerja, kemungkinan terjadinya substitusi tenaga kerja ke mesin itu juga akan tinggi. Kita tidak berharap adanya PHK, karena ini memicu terjadinya PHK," ujarnya.
Selain itu, dia mengatakan, mendorong terjadinya relokasi dari lokasi-lokasi yang memiliki nilai UMK tinggi pada lokasi atau wilayah yang memiliki nilai UMK yang lebih rendah. Tidak hanya itu, tegas Ida, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang tidak proporsional dapat menyebabkan tutupnya perusahaan di saat situasi pandemi saat ini. Selain itu mempersempit ruang dialog kesepakatan upah serta penerapan struktur dan skala upah di perusahaan.
Ida menjelaskan bahwa penetapan upah minimum berdasarkan formula di Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan upah antarwilayah dan mewujudkan keadilan upah. Untuk itu, dalam aturan baru penetapan upah minimum 2022 hanya akan dilakukan untuk UMP dan UMK, sementara upah minimum sektoral (UMS) tidak akan dilakukan penetapan.
Pengecualian dilakukan untuk UMS yang ditetapkan sebelum 2 November 2020 yang berlaku hingga masanya telah berakhir atau saat UMP/UMK di wilayah tersebut telah melebihi UMS. Dia mengingatkan pemerintah daerah yang tidak mengikuti ketentuan penetapan upah minimum yang baru dapat mendapatkan sanksi administrasi.