REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, meluncurkan buku berjudul 'Agama, Demokrasi, dan Politik Kekerasan'. Buku ini akan menjadi serial pertama atas kumpulan tulisan-tulisan dan gagasan-gagasan dari Haedar Nashir.
Buku tersebut diterbitkan melalui kerja sama Republika Penerbit dan Suara Muhammadiyah. Peluncuran diisi kata pengantar dari Pemimpin Redaksi Republika, Irfan Junaidi, dan sambutan dari Direktur Suara Muhammadiyah, Deni Asy'ari.
Haedar mengatakan, bicara agama memang wilayah yang paling tidak mudah dibahas. Sebab, ada dimensi sakral dan profan yang sering tipis hubungannya karena ada perilaku orang beragama tidak bisa memilih mana yang sakral, mana yang profan.
Ketika menyederhanakan, yang terjadi saling rebut tafsir dan dangkal. Misalkan, ketika bicara akidah, sebenarnya bisa dibedakan mana yang prinsip dan mana yang cabang. Tapi, seringkali akidah dianggap fundamental walau tidak bisa dirinci.
Agama, dalam realitas kehidupan ketika bersentuhan dengan demokrasi, politik, bisa lebih kompleks lagi. Sebab, politik ada di wilayah profan yang bagi kaum sekular urusan politik memang murni, tidak ada urusan nilai-nilai yang sakral.
Tidak heran, bagi mereka urusan politik hanya dijadikan urusan politik, agama jangan mencampuri urusan politik. Sebaliknya, bagi kaum beragama, keduanya tidak akan bisa dilepas karena urusan politik merupakan bagian dari agama itu sendiri.
"Tapi, tidak semua orang berhasil menerjemahkan ajaran agama ke dalam nilai dan etika. Kegagalan menerjemahkan ajaran agama menjadi nilai dan etika membuat orang menjadi berpikir serba absolut mengenai politik," kata Haedar, di kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (16/11).
Maka, Haedar menekankan, lahir dua pandangan yang ekstrim. Satu memandang kalau politik menjadi apa saja boleh, sedangkan pandangan lain memandang kalau politik menjadi apa saja tidak boleh. Karenanya, posisi moderat ada di antara keduanya.
"Ada di antara mana yang boleh, mana yang tidak boleh, mana yang bisa ditawar, mana yang tidak bisa ditawar," ujar Haedar.
Menarik benang ini perlu kecerdasan, perlu hati yang jernih, perlu pikiran yang cerdas. Kalau belum apa-apa, dilepas begitu saja, nantinya mubalig jadi terkesan anti dunia dan sebaliknya bagi mereka yang sangat dunia seakan lepas dari nilai.
Ia mengajak memahami Islam, Alquran, hadis, bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi, jangan sendiri-sendiri. Sebab, agama, antara sakral dan profan, perlu dipahami secara lintas, lebih-lebih secara politik dan demokrasi.
Haedar menekankan, poin penting buku ini mengajak kita bicara tentang agama dan realitas agama, demokrasi, dan realitas demokrasi, politik, dan realitas politik. Dalam pandangan kaya, multi perspektif dan memahami realitas secara berlapis.
"Supaya kita tidak terjebak kepada penyederhanaan persoalan, itulah yang disebut bicara tentang sesuatu, berbuat sesuatu, dan melakukan sesuatu tanpa ilmu," kata Haedar.