REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasus dugaan korupsi pembangunan Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus perempuan Kelas III di Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar), memasuki babak baru. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Leonard Ebenezer Simanjuntak mengatakan, kejaksaan telah menetapkan empat orang tersangka dalam dugaan korupsi yang merugikan negara Rp 1,6 miliar tersebut.
Ebenezer menerangkan, penetapan tersangka itu, dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulbar, pada Kamis (11/11). “Keempat tersangka tersebut, adalah M, SB, AW, dan A,” begitu kata Ebenezer, dalam siaran pers Kejakgung, yang diterima wartawan di Jakarta, Jumat (12/11).
M, ditetapkan sebagai tersangka selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkum HAM) Sulbar. Sedangkan SB, ditetapkan tersangka selaku swasta, pelaksana kegiatan dari PT MJK. Adapun AW, kata Ebenezer, ditetapkan tersangka selaku Pelaksana Kegiatan Pembangunan Lapangan. Dan tersangka A, adalah selaku konsultan dan pengawas pembangunan serta selaku Direksi CV CPN.
“Keempat tersangka tersebut, yakni inisial M, SB, dan AW, juga A, dilakukan penahanan sejak ditetapkan sebagai tersangka (11/11). Semuanya dilakukan penahanan oleh Kejati Sulbar di Rutan Kelas II B Mamuju, Sulbar,” begitu kata Ebenezer menambahkan. Alasan penahanan, kata Ebenezer, untuk lebih memudahkan proses penyidikan lanjutan.
Ebenezer, dalam laporan resmi Kejati Sulbar menyampaikan, riwayat ringkas kasus tersebut. Dikatakan, kasus itu berawal dari tahun anggaran belanja Kanwil Kemenkum HAM Sulbar 2018. Pada tahun tersebut, sedang dilaksanakan proyek pembangunan gedung LP Perempuan Kelas III Mamuju. Anggarannya mencapai RP 17,775 miliar. Proyek pembangunan tersebut, dikatakan sudah dibayarkan tunai. “Akan tetapi, terdapat kekurangan kuantitas dan kualitas pembangunan sehingga merugikan negara Rp 1,6 miliar,” ujar Ebenezer.
M, kata Ebenezer, adalah pihak yang memanipulasi pelaporan pelaksaan dan penyelesaian pengadaan barang dan jasa kepada KPA. Dalam menipulasi pelaporan tersebut, diketahui tak dilengkapi dengan kontrak pembangunan, aktivitas kemajuan pembangunan, juga penyerapan anggaran, dan tak melaporkan rangkaian pembayaran selama pengerjaan proyek tersebut. Adapun tersangka SB, dikatakan tak melaksanakan kewajibannya selaku penerima jasa proyek pembangunan.
“Tersangka SB malah menyerahkan pekerjaannya kepada tersangka SW,” begitu kata Ebenezer. Adapun tersangka SW, dijerat hukum karena terlibat dalam pelimpahan pekerjaan tersebut dari SB. Namun, tak bersedia melanjutkan proyek pembangunan tersebut. “Tetapi, bersepakat dengan SB untuk membagi-bagikan fee dari proyek pembangunan tersebut. Adapun tersangka, A, dijerat hukum karena membuat pelaporan fiktif yang tidak sesuai dengan fakta pengerjaan di lapangan.
Atas perbuatan para tersangka itu, Ebenezer melanjutkan, Kejati Sulbar menjerat keempat tersangka itu dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 UU Tipikor 31/1999-20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Keempat tersangka, terancam hukum penjara minimal lima tahun.