Sabtu 30 Oct 2021 20:55 WIB

Krisis Iklim Kian Perburuk Masa Depan Anak di Indonesia

Anak di Indonesia alami 3,3 kali lebih banyak ancaman bencana akibat krisis iklim

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang ibu menggendong anaknya melintasi banjir di permukiman Desa Mentaya Hulu, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Anak di Indonesia alami 3,3 kali lebih banyak ancaman bencana akibat krisis iklim
Foto: Antara/Chalisa
Seorang ibu menggendong anaknya melintasi banjir di permukiman Desa Mentaya Hulu, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Anak di Indonesia alami 3,3 kali lebih banyak ancaman bencana akibat krisis iklim

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Krisis iklim yang terjadi di negara Indonesa terus membawa dampak nyata bagi masyarakat, tak terkecuali bagi anak- anak. Berdasarkan Laporan Save the Children secara global, yang dirilis September 2021, anak-anak yang lahir dalam kurun waktu setahun terakhir telah dan akan merasakan suhu 7,7 kali lebih panas dibanding yang dialami oleh kakek-nenek mereka.

Bahkan anak – anak di Indonesia juga akan menghadapi 3,3 kali lebih banyak, ancaman bencana alam banjir akibat dari luapan sungai serta 1,9 kali lebih banyak mengalami kekeringan pada saat musim kemarau.

"Dampak krisis iklim ini tentunya akan dirasakan lebih buruk oleh anak–anak yang hidup dalam lingkaran kemiskinan," ungkap CEO Save the Children Indonesia, Selina Patta Sumbung, dalam rilis yang diterima Republika, Sabtu (30/10).

Anak-anak yang hidup di dalam lingkaran kemiskinan, jelasnya, sudah lebih dahulu terpapar risiko yang jauh lebih besar, antara lain karena keterbatasan akses air bersih, kelaparan dan bahkan akses gizi yang lebih buruk.

Selain itu, dampak dari krisis iklim ini juga semakin memperbesar risiko bagi jutaan anak dan keluarga di Indonesia kian dekat dengan kemiskinan jangka panjang.

Di Indonesia anak–anak akan merasakan 3,2 kali lebih banyak gagal panen, belum lagi dengan persoalan masih lemahnya akses terhadap skema perlindungan sosial. Menurutnya, hal ini tergambarkan secara jelas dalam laporan terbaru Save the Children secara global yang menyebut mereka sebagai anak- anak “Born Into the Climate Crisis” atau anak- anak yang lahir di Masa Krisis iklim.

“Untuk itu, laporan tersebut menyerukan agar pentingnya tindakan dan aksi yang harus dilakukan segera untuk menyelamatkan serta melindungi hak–hak anak di Indonesia ini,” tegas Selina.

Secara global, anak- anak yang lahir pada tahun 2020 akan menghadapi 7 persen lebih banyak kebakaran hutan, 26 persen lebih banyak gagal panen, 31 persen lebih banyak kekeringan, 30 persen lebih banyak banjir sungai dan 65 persen lebih banyak gelombang panas jika pemanasan global dihentikan pada 1,5 Derajat Celcius.

Oleh karena itu, Save the Children menekankan, masih ada waktu untuk mengubah situasi masa depan agar risikonya tidak semakin memburuk bagi anak- anak.

Jika kenaikan dijaga hingga maksimum 1,5 derajat, beban antargenerasi pada bayi yang baru lahir masing-masing bakal berkurang 45 persen untuk problem gelombang panas dan sebesar 39 persen untuk kekeringan.

“Demikian halnya kiat itu akan dapat mengurangi sebesar 38 persen untuk banjir sungai, sebesar 28 persen untuk gagal panen dan sebesar 10 persen untuk risiko kebakaran hutan,” tegasnya.

Selina juga menambahkan, hal tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa anak–anak di Indonesia akan menjadi salah satu yang terkena dampak terburuk dari problem krisis iklim tersebut. Tanpa ada tindakan yang segera, situasi yang bakal dihadapi anak-anak di Indonesia juga bakal semakin buruk.

Di lain pihak, Selina juga menyinggung krisis iklim pada intinya juga merupakan krisis pada hak anak. Maka diperlukan tindakan- tindakan sederhana yangbisa dimulai dari diri sendiri dan keluarga.

Misalnya dengan menghapus ketergantungan pada bahan bakar fosil, memulai gaya hidup ramah lingkungan dan berpartisipasi aktif dalam aksi mitigasi dan adaptasi dalam mengantisipasi perubahan iklim.

Pemerintah juga harus mengembangkan tata kelola mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang inklusif dengan memperhatikan kebutuhan kelompok rentan seperti anak- anak. “Tentunya melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak kepada anak,” tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement